Jumat, 10 Februari 2017

Selamat Ulang Tahun

source. google

Selimut pagi ini tak lagi biru dengan warna keemasan cakrawala yang tersibak. Kapas putih itu berubah menjadi rajutan kelabu. Menghapus keinginan cerita pagi yang cerah. Berubah sedemikian rupa, menjadi fluida-fluida yang bercucuran dari atas langit. Bertumbukan pada jalan yang kasar pada akhirnya.

Sejenak, aku menatap peristiwa alam yang terjadi di luar sana. Akan tetapi, sebuah kaca berpetak membatasi antara aku dan hujan. Lamat-lamat, semakin aku memperhatikannya, seperti ada bisikan kecil yang mulai mengganggu. Mungkin itu jeritan lukaku di dalam hati. Terlalu lama aku memerhatikan hujan, membuat diriku menciptakan bayangan seseorang di otak.


Takut bayangan itu semakin menjadi. Aku memilih beranjak dari ranjang, berjalan gontai, menghampiri sebuah cermin setengah badan yang menyatu dengan lemari. Sepasang almond milikku hanya menatap penuh kasihan. Gadis dengan setelan piama tidurnya yang berwarna merah muda, rambut digulung ke atas, ada beberapa anak rambut yang menyembul keluar dari ikatan. Cukup berantakan. Bayangan dari cermin itu semakin mengenaskan, terutama dengan wajah yang ditekuk seperti yang kulakukan sekarang.

Entah kenapa, aku merasa pagiku sedang dalam keadaan yang kurang baik. Padahal malam ini aku tertidur sampai larut seperti biasanya. Hanya saja, aku bangun lebih awal dari yang kuperkirakan. Keadaan seperti menuntutku melakukannya, tapi hatiku sangatlah bertolak belakang.

Aku membalikkan badan. Pandanganku mulai menyapu setiap sudut ruang kamar yang didominasi warna merah muda. Tidak semuanya; ada beberapa barang, terutama dindingnya.  Tak ayalnya seperti kapal pecah. Ya, mungkin itu adalah kata-kata pertama yang akan dilontarkan ibu melihat keadaan kamarku. Banyak buku berserakan di atas karpet berbulu merah jambu, biasanya aku menghabiskan waktu di sana dengan posisi tengkurap.

Jika biasanya buku-buku yang berserakan adalah novel-novel koleksiku, aku yakin dalam waktu beberapa bulan ke depan akan berubah menjadi buku-buku pelajaran, seluruhnya. Itu karena aku yang sudah duduk di bangku kelas dua belas. Juga akan memastikan untuk ikut merayakan pesta pelajar di seluruh Indonesia. UN (Ujian Nasional) 2014.

Sementara aku mengabaikan pemandangan kamarku dulu. Kakiku mulai bergerak di atas dinginnya lantai marmer, mendekat pada sebuah meja belajar yang ada di dekat jendela. Tiba-tiba. Tanganku terulur, mengambil sebuah desk calendars mungil  dari sana. Memandang lekat angka ‘satu’ dan ‘delapan’ yang saling berdampingan, bertengger manis dengan warna hitamnya.

Sepasang kelopak mataku memejam lembut, diikuti hembusan napasku kemudian. Ada nyeri di bagian ulu hatiku. Sesuatu yang berada di dada kiriku juga mulai berdetak tak wajar. Dan dari sana lah, aku seperti dibawa untuk kembali menziarahi kenangan yang berusaha kututup. Sakit.

Aku masih mengingatnya, dan tak yakin bisa mengacuhkannya. Mulut yang benar-benar terkatup rapat ini mulai bergerak, berusaha mengeluarkan sebuah kalimat yang tersedak di kerongkongan.

“Selamat ulang tahun, Yohan Prayoga….” Kalimat itu berhasil meluncur dengan mulus dari bibirku. Meski tadinya, itu terasa sangat sesak dan mencekik.

Noktah bening itu ikut meluncur kemudian, dari sudut kanan mataku. Begitu lembut, lalu diikuti tetesan lainnya.

Hari ini, dia yang kusebut namanya tadi sedang berulang tahun. Dia yang menjadi ceritaku di setiap hari, kini merayakan ulang tahunnya yang ke delapan belas. Meninggalkan satu langkah dari usia yang bagi sebagian orang adalah usia paling indah—tujuh belas tahun.

Mataku kembali terbuka, setelah seperkian detik aku memaksanya untuk terpejam. Pagi masih di warnai hujan, bulirnya menggambar abstract di atas jendela kamar. Setelah mengembalikan desk calendars pada tempatnya, aku mulai menggerekkan layar ponsel yang kebetulan berada tak jauh dari pandanganku. Aku menghidupkan music player di sana, sebuah alunan mulai merajut lembut, menyambangi kedua telingaku begitu halus. EXO K – Miracles in December (Classical Orchestra Version).

Kaki ini kembali tergerak, mendekati jendela. Tanganku terulur untuk membuka kaitannya. Setelah jendela terbuka, bau pagi yang basah segera menyergap indra penciumanku. Perlahan, kedua tanganku terangkat dan terarah keluar. Tetesan-tetesan itu mulai menyentuh telapak tanganku, bergelayut manja di antara pori-pori kulit. Rasanya dingin. Seperti sikap Yohan padaku. Dingin. Semua terjadi setelah ia mengetahui aku memiliki perasaan padanya.

Kedua tebing pipi ini benar-benar basah, saling beriringan dengan alunan music orchestra yang meninggi. Aku memilih mendongakkan kepala, berusaha menahan air mata yang telah terlanjur turun. Aku… aku… aku tidak berniat mengotori hari jadimu. Segera kumenarik tanganku dari jendela. Berlari mengambil handuk yang tersampir di dekat kamar mandi,  aku menggunakannya untuk mengeringkan tangan. Dan kembali pada meja belajarku, aku menggapai sebuah bolpoint dan buku catatanku. Merobek bagian tengahnya dan mulai menuliskan sesuatu di atasnya. Sempat kuusap kasar pias-pias air mata yang tersisa dengan punggung tangan.

Meski sakit, aku berusaha menuliskannya. Sebagai teman.
Selamat ulang tahun… ‘Yohan Prayoga’
Semoga panjang umur, sehat selalu, semoga apa yang dicita-citakan dapat tercapai… Semoga bisa jadi Yohan yang lebih baik lagi, semakin dewasa, dan sukses selalu buat kamu.
Happy birthday…
Wish you all the best…
“Cakrawala merangkak manja dalam peraduan, melipat senja dengan senyuman. Seperti yang kau tahu, waktu berputar untuk mengingatkan manusia agar menjadi yang lebih baik lagi.

Di sini, dan hari ini…. Aku hanya memandangmu dari kejauhan. Tak ada lagi kado seperti dulu, kejutan atau semacamnya. Karena yang kuberikan sekarang adalah kebahagiaanmu.

Aku memilih pergi, dan yakin ini lah untuk terakhir kalinya aku merayakan ulang tahunmu. Aku bukan lagi Kenzi yang keras kepala, bodoh karena memaksakan cintanya yang sepihak.
Semua yang terjadi bukan salahmu, tapi… salahku. Aku yang keras kepala, dan biar aku yang menanggungnya. Move on kini menjadi pilihanku, meski sedikit ragu, aku yakin bisa. Dan....


Terimakasih, telah menggoreskan tinta yang disebut kenangan dalam lembar hidupku. Manis dan … pahit.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar