Jumat, 10 Februari 2017

Aku dan Tahap Ini

source. google
Cinta yang membutakan?
Atau… aku yang membuat cinta itu buta.
 Mataku terpejam lembut, tat kala rinai hujan mulai membasahi kaca jendela tempatku bekerja. Di sini, tempatku mengabdi setelah setahun lalu diwisuda sebagai salah satu mahasiswi lulusan  Kedokteran di sebuah Universitas Negeri. Rumah Sakit Medica Center. Aku bersandar pada tepian jendela sambil menatap keadaan kota kelahiran yang sepenuhnya telah diguyur oleh hujan. Samarinda.
Perlahan, bau hujan yang menguar dibawa oleh angin masuk ke dalam ruanganku yang berada di lantai lima. Sembilu dingin mulai menjalari dan entah kenapa, terasa seperti dibumbui lara yang berusaha ikut meluap ke permukaan. Hujan. Satu hal sederhana yang mampu mengingatkanku pada nyanyian luka, meski tidak semua orang beranggapan seperti itu.

Dari hujan yang turun, aku berusaha mengalihkannya pada suara pintu ruangan yang baru saja diketuk. Kemudian, seorang wanita paruh baya yang notabene adalah perawat di sini menyembulkan kepala sambil meminta izin untuk masuk, dan aku mempersilahkan. Sementara itu kakiku berderap mendekati meja kerja.
Aku bisa mendengar suster di depanku ini sekarang sedang mengembuskan napas kasar sebelum ia mulai berbicara. Dari situ aku mulai mencium bau tak enak dari apa yang akan dikatakannya.
“Dokter Najma, seorang pasien wanita baru saja masuk ke ruang IGD. Dia korban tabrak lari dan sedang dalam keadaan kritis.”
Sudah seperti yang kuduga, bahkan hari ini sudah ada tiga korban tabrak lari. Aku menyayangkan keadaan lalu lintas di kota ini.
“Aku akan memastikan keadaannya terlebih dahulu! Sebelum kita mengambil tindakan operasi nantinya.”
Perawat itu mengangguk gamang, kemudian diikuti langkah-langkah kaki kami yang keluar dari ruangan dan menuju lift. Wanita di sampingku menekan tombol untuk turun ke lantai dua. Selalu begini, setiap ada pasien yang dilarikan ke ruang IGD aku tak pernah berhenti melantunkan doa dalam hati agar keadaan mereka baik-baik saja. Biar kenyataan mengatakan ini adalah takdir, pasti tidak semua orang mau berada dalam keadaan kritis.
Kebahagiaan dunia itu tidak selamanya abadi. Bahkan akan lebih baik menjalankan kehidupan bersama orang sekitar dipenuhi oleh tawa, bukan tekapar ditemani gelap. Inilah salah satu alasanku kenapa sejak kecil salalu mendamba-dambakan seorang dokter, dan ingin ikut mengabdikan diri pada dunia kesehatan.
Langkah-langkah yang bertumbukan dengan dinginnya lantai marmer mengantarkanku segera pada ruangan, yang di atasnya bertuliskan ‘Instalasi Gawat Darurat-IGD’.
Baru aku sedikit merapikan jas putih yang kukenakan dan mengangkat kepala, sepasang kakiku kontan berhenti seperti tanpa aba-aba. Kepala ini bak terhantuk oleh dinding yang layak kusebut masa lalu. Dingin seketika menyergapku, jantung yang mulai berlompatan tak karuan, saat sepasang mataku bertumbukan pada seseorang yang berdiri dengan wajah penuh khawatir dan terlihat sedang gundah di depan pintu ruang IGD. Sistem kerja otakku mulai merajut siluet-siluet yang belakangan ini terus berusaha kuhindari.
Sosok pria dengan rambut belah pinggir, kulit sawo matang, dan … pakaiannya kini yang sudah bersimbah dengan bercak-bercak merah. Pun basah karena di luar hujan deras sejak beberapa jam lalu. Khawatir mulai berselimut dan berusaha membekapku. Aku melangkahkan kaki pelan sambil menunduk.
“Dok! Dokter kan yang bakal nyelamatin nyawa pacar saya. Tolong selamatkan nyawanya, Dok!”
Sistem yang menandakan aku hidup hampir berhenti keseluruhan. Tubuhku seutuhnya menegang, ya, ketika kedua tangannya mendarat di kedua pundakku. Aku sama sekali tak berani menatap atau sekedar melihat wajah pria ini yang sedang dalam keadaan terluka. Berusaha agar tidak ada kontak mata antara aku dan dia.
Bayangkan ketika seseorang yang pernah mengisi hatimu tujuh tahun lamanya, tapi itu hanya berada dalam zona cinta sepihak. Dia yang tak pernah mencintaiku, dia yang tak pernah mengharapkanku dan dia yang telah membuatku seperti ini. Aku belum bisa melepaskannya sebagai cinta pertamaku.
“Semua kehendak Tuhan,” kataku dingin sambil melepas kasar cengkraman tangannya. Aku berlalu masih dengan menundukkan kepala. Tidak menghiraukan apakah dia menyadariku siapa aku tadinya.
Tak ada kata sapaan atau satu pun kalimat meluncur ketika aku mulai melangkahkan kaki masuk ke ruang IGD. Kami pernah kenal, tapi … tidak untuk sepuluh tahun belakangan ini. Dan … mataku semakin terbelalak saat dihadapkan dengan siapa yang menjadi pasienku sekarang. Tidak sekedar itu, juga melihat bagaimana banyaknya darah yang keluar dari kepalanya dan mesin detak jantung yang menggambarkan keadaannya semakin melemah. Benar-benar aku merasakan tubuh ini seperti tidak ada yang menahan, tulang-tulangku bak luruh. Gadis berambut hitam menjuntai dengan wajahnya yang tirus, semakin membuatku terjerumus pada masa lalu yang berusaha kulupakan. Mataku yang memanas semakin meluap-luap.
Aku berusaha tenang dan mengaburkan semua tentang masa lalu. Siap dengan tim medis aku mulai melakukan pemeriksaan. Setelah beberapa menit aku berusaha memastikan keadaan, mulai dari cek mata, detak jantung, sampai kontrol darah.
“Operasi bisa kita lakukan sekarang,” kataku dengan mulut yang ditutup oleh masker. Tapi para tim medis masih bisa mendengarnya.
Melihat orang-orang sibuk dengan peralatan operasi, aku kembali mendekat pada wanita yang menjadi pasienku sekarang. Pura-pura tanganku memeriksa selang infus, yang padahal tergerak untuk melihat cincin berbahan dasar emas putih yang melingkar di jarinya.
Dadaku terasa semakin sesak. Keadaan pria yang berada di depan pintu IGD tadi, dia yang bajunya basah karena hujan saat akan mengantarkan wanita ini, juga berlumuran dengan darah. Aku yakin, pria itu pasti sangat khawatir dan … sangat mencintai wanita yang sebentar lagi akan dinikahinya.
“Na, bulan depan Azka bakal ngelangsungi pernikahannya. Kam—“
Cepat-cepat aku menggeleng-gelengkan kepala, mengusir pembicaraanku dengan Kenzi beberapa hari lalu saat kami bertemu di Solaria. Noktah bening itu pun meluncur pada akhirnya.
Jadi? Ini kah usahaku yang tujuh tahun lamanya berusaha menghindarinya. Seolah menyibukkan diri dan tenggelam dalam egoisnya tugas-tugas anak kuliahan. Tak menghiraukan, berusaha tidak mendengar dan melihat apa dan bagaimana keadaan Azka. Bahkan saat dia memiliki seorang kekasih, aku berusaha tersenyum mengatakan ‘aku tidak apa-apa’ pada duniaku.
“Kau gadis beruntung,” kataku sambil tersenyum kecut, lantas mengusap punggung tangan wanita ini perlahan. “Azka … kau pantas bersanding dengannya.”
“Dok, tim medis sudah siap!”
 
            Sejauh ini, tidak ada yang bisa mengalahkan perpaduan antara aroma mint dan cokelat panas yang baunya menguar. Pappermint Hot Chocolate. Minuman yang paling kugemari kerap kali berkunjung ke Plaza Mulia Mall. Aku biasa menikmatinya di Starbuck sambil duduk di salah satu meja yang ada di sudut ruangan, lampu yang remang-remang membuatku lebih betah berada di sini. Ketenangan seperti berselimut lekat dan sekedar menjauhkan diri sejenak dari rutinitas seorang dokter.
“Najma! Hei!”
Aku segera mengangkat kepala dari suguhan layar notebook-ku. Lantas tersenyum pada pria jangkung yang tadi mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku.
“Udah lama nunggunya?” tambah pria tadi sambil memenuhi kursi kosong di hadapanku.
Kepalaku menggeleng pelan sambil mengulum senyum simpul. “Kamu mau pesen apa?” tanyaku kikuk. Entah kenapa, biar Chandra—pria di hadapanku—sudah berstatus sebagai kekasihku selama dua bulan ini tapi tetap saja, aku masih canggung.
“Biar aku aja yang pesen. Lanjutin deh, kerjaan nulismu. Tunggu di sini, ya…!” tukasnya sambil melepas jaket kulit yang dikenakannya, kemudian berlalu menuju bar.
Dahiku berkerut dalam. Rupanya dia sudah bisa menebak apa yang kulakukan setiap kali sedang berhadapan dengan layar notebook. Aku mengakuinya sebagai sosok pria penuh perhatian, tapi … kenapa aku belum bisa menaruh penuh hatiku terhadap dirinya.
Cintaku masih bertahan pada orang yang sama. Seolah daun masih takut untuk meninggalkan ranting ketika angin berusaha meniupnya. Berulang kali kenyataan menamparku. Tetap saja nama Azka yang bertahan di hati ini. Pikiranku pun semakin berhamburan setelah lama tak menemuinya, akhirnya kami bertemu di rumah sakit beberapa hari lalu. Bahkan jelas-jelas kami sudah dengan status masing-masing. Ingin rasanya memukulkan benda keras ke kepalaku agar aku bisa melupakannya. Azka Aji Hermawan.
“Hei, serius banget, Na!” Chandra kembali dan kepalanya menjorok ke depan, berusaha mencari tahu tulisan apa yang membuatku sampai berwajah seserius ini. “Ada masalah?” tambahnya sambil memundurkan kepala dan menyantap minuman yang dipesannya.
“Enggak kok. Lagi banyak pasien aja,” kataku berusaha berkilah. Memutar balikkan fakta.
“Yakin?” Chandra tersenyum lembut, wajahnya terlihat lebih muda dibandingkan usianya yang lebih tua satu tahun denganku. Ukuran ketampanan Chandra dan Azka tidak jauh berbeda, tapi… bukan ketampanan yang menjadi alasanku mencintai seseorang.
“Gimana sama tugas kepolisianmu di Balikpapan?”
“Na, aku enggak bisa kamu bohongi. Di mataku kamu adalah gadis yang selalu gagal tiap kali akan berbohong. Aku tahu kok kabar pernikahan Azka dan Hanum.”
Hatiku mencelos. Kenzi, siapa lagi yang bermulut ember di antara teman-teman satu angkatan semasa SMA kecuali dia.
“Kali ini jangan nyalahin Kenzi. Kemaren Azka yang cerita sendiri ke aku.”
Aku tersenyum dongkol. Ah! Lagi-lagi Chandra bisa membaca pikiranku. Aku memang wanita paling bodoh saat akan bertindak sabagai pelaku pembohong. Dan paling sering melesat saat akan mencoba perkiraan.
“Chandra…,” kali ini aku tak berani melanjutkan kalimatku. Chandra tahu kalimat apa yang akan aku utarakan saat aku berada di zona kehidupan Azka. Ia tahu semua tentang isi hatiku, bagaimana perasaanku terhadap Azka, sampai usahaku untuk move on. Dia pria yang terlalu baik karena masih sabar menghadapiku yang seperti ini.
Sekarang Chandra mengangguk-anggukan kepala lantas tersenyum setelah menyesap kembali minumannya. “Kamu ini cinta gila kah sama Azka, Na?” katanya malah terkekeh. Kekasih macam apa ini? Kecemburuan saja tidak tampak di wajahnya. Seharusnya aku juga harus menilai diri, adakah wajah kecintaanku terhadap Chandra, sekarang?
“Chand, buat apa? Aku udah punya kamu dan Azka udah punya Hanum.”
“Najma….” Chandra menatapku lurus-lurus, tangannya terulur mengambil tanganku lantas diusapnya pelan. “Aku tahu saat ini kamu masih membutakan cintamu  pada Azka. Dan aku, Chandra Farid Assyraaf, berusaha menjadi pendonor mata hatimu agar kamu bisa melihat dan menerima kehadiran cintaku.”
Saat itu pun aku merasakan tubuh ini bergetar. Oh, Tuhan! Kemanakah perginya cintaku selama ini? Sosok Azka benar-benar menutup mataku dari orang-orang sekeliling yang telah menyediakan ruang cintanya untukku.
Kali ini tangan Chandra terangkat ke udara dan menyelipkan poniku yang berhamburan di balik telinga.
“Maafin aku, karena….” Aku berusaha mengeluarkan satu atau dua patah kata dari kerongkongan yang sesak.
Tapi Chandra seolah tak menyediakanku ruang untukku berbicara. “Jika memang bukan orang yang selalu ada di doamu yang menjadi pendampingmu kelak,”-teringat saat aku yang sering berdoa tanpa melupakan nama Azka-“maka izinkan orang yang sering menyebut namamu di dalam doanya yang akan menjadi pendampingmu. Kamu mau kan tunangan sama aku?”
Aku benar-benar merasa berdosa. Tidak seharusnya aku terus-terusan, menjebak diriku pada kenyataan cinta yang tidak akan pernah bisa dirubah seperti ini. Azka tidak akan pernah menjadi milikku. Dan aku tidak pernah ditakdirkan untuk menjadi milik Azka.
“Aku—“ rasanya ada yang mencekat tenggorokan, lagi.
Sudut-sudut bibir Chandra tertarik. Menertawaiku kemudian karena betapa gugupnya aku sekarang. Oh, ini tidak lucu Chand!
“Kamu mau nggak?” katanya mengulangi sambil menyentil hidungku.
“Jadi ini alasanmu bela-belain datang ke Samarinda sambil ninggalin tugas di Balikpapan?” Aku mulai mengintimidasi sambil melipat tangan di depan dada.
“Eh?” Dia mengibas-ngibaskan tangan. “Enggak, ya! Aku udah dapet izin dua hari dari atasan. Besok malam harus udah balik lagi ke Balikpapan. Terus jawabanmu apa ini? Aku enggak mau dong buang-buang waktuku gitu aja. Time is money!”
Pipiku menghangat dan tidak tahu bagaimana rupanya sekarang. Kenapa baru sekarang? Apakah daun sudah berani meninggalkan ranting setelah tertiup angin, beberapa detik? Aku merasakan sesuatu yang mulai menulusup di hatiku. Senyum dan tawa Chandra bak minuman yang mulai memabukkan sekarang. Benarkah aku sudah bisa menggantikannya?
“Iya… aku mau,” ucapku pada akhirnya. Kulihat Chandra mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Kemudian, Chandra mengangsurkan sebuah kotak berwarna merah maroon yang di dalamnya tampak sebuah cincin emas putih bertengger di sana.
“Aku denger, kemaren kamu nangani langsung pacarnya Azka. Hebat berarti, ya?”
Bibirku menekuk ke bawah sambil mendengus. “Aku kan dokter!” Senyum seketika memenuhi wajahku setelah Chandra berhasil memasangkan benda berbentuk bulat itu di jari manisku.
“Besok sebelum berangkat ke Balikpapan aku mau jenguk dulu. Kamu ikut, ya?”
“Siap, Pak Polisi!” Aku tertawa kemudian. Chandra pun tampak gemas dengan mengacak-acak rambutku. Ah, cinta itu memang butuh proses.
Ada tahap move on dan ada tahap untuk menemukan cinta yang baru. Cinta yang sesungguhnya. 
Berhenti di tahap ini, atau memilih membuka mata. Tersenyum pada dunia dan merajut hal baru yang indah. Keterpurukan bukan akhir dari gelapnya dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar