source. google |
Cinta yang membutakan?
Atau… aku yang membuat cinta itu buta.
Mataku
terpejam lembut, tat kala rinai hujan mulai membasahi kaca jendela tempatku
bekerja. Di sini, tempatku mengabdi setelah setahun lalu diwisuda sebagai salah
satu mahasiswi lulusan Kedokteran di
sebuah Universitas Negeri. Rumah Sakit Medica Center. Aku bersandar pada tepian
jendela sambil menatap keadaan kota kelahiran yang sepenuhnya telah diguyur
oleh hujan. Samarinda.
Perlahan, bau
hujan yang menguar dibawa oleh angin masuk ke dalam ruanganku yang berada di
lantai lima. Sembilu dingin mulai menjalari dan entah kenapa, terasa seperti
dibumbui lara yang berusaha ikut meluap ke permukaan. Hujan. Satu hal sederhana
yang mampu mengingatkanku pada nyanyian luka, meski tidak semua orang
beranggapan seperti itu.
Dari hujan yang turun, aku berusaha mengalihkannya pada suara pintu ruangan yang baru saja diketuk. Kemudian, seorang wanita paruh baya yang notabene adalah perawat di sini menyembulkan kepala sambil meminta izin untuk masuk, dan aku mempersilahkan. Sementara itu kakiku berderap mendekati meja kerja.
Dari hujan yang turun, aku berusaha mengalihkannya pada suara pintu ruangan yang baru saja diketuk. Kemudian, seorang wanita paruh baya yang notabene adalah perawat di sini menyembulkan kepala sambil meminta izin untuk masuk, dan aku mempersilahkan. Sementara itu kakiku berderap mendekati meja kerja.
Aku bisa
mendengar suster di depanku ini sekarang sedang mengembuskan napas kasar
sebelum ia mulai berbicara. Dari situ aku mulai mencium bau tak enak dari apa
yang akan dikatakannya.
“Dokter
Najma, seorang pasien wanita baru saja masuk ke ruang IGD. Dia korban tabrak
lari dan sedang dalam keadaan kritis.”
Sudah seperti
yang kuduga, bahkan hari ini sudah ada tiga korban tabrak lari. Aku
menyayangkan keadaan lalu lintas di kota ini.
“Aku akan
memastikan keadaannya terlebih dahulu! Sebelum kita mengambil tindakan operasi
nantinya.”
Perawat itu
mengangguk gamang, kemudian diikuti langkah-langkah kaki kami yang keluar dari
ruangan dan menuju lift. Wanita di sampingku menekan tombol untuk
turun ke lantai dua. Selalu begini, setiap ada pasien yang dilarikan ke ruang
IGD aku tak pernah berhenti melantunkan doa dalam hati agar keadaan mereka
baik-baik saja. Biar kenyataan mengatakan ini adalah takdir, pasti tidak semua
orang mau berada dalam keadaan kritis.
Kebahagiaan
dunia itu tidak selamanya abadi. Bahkan akan lebih baik menjalankan kehidupan
bersama orang sekitar dipenuhi oleh tawa, bukan tekapar ditemani gelap. Inilah
salah satu alasanku kenapa sejak kecil salalu mendamba-dambakan seorang dokter,
dan ingin ikut mengabdikan diri pada dunia kesehatan.
Langkah-langkah
yang bertumbukan dengan dinginnya lantai marmer mengantarkanku segera pada
ruangan, yang di atasnya bertuliskan ‘Instalasi Gawat Darurat-IGD’.
Baru aku
sedikit merapikan jas putih yang kukenakan dan mengangkat kepala, sepasang
kakiku kontan berhenti seperti tanpa aba-aba. Kepala ini bak terhantuk oleh
dinding yang layak kusebut masa lalu. Dingin seketika menyergapku, jantung yang
mulai berlompatan tak karuan, saat sepasang mataku bertumbukan pada seseorang
yang berdiri dengan wajah penuh khawatir dan terlihat sedang gundah di depan
pintu ruang IGD. Sistem kerja otakku mulai merajut siluet-siluet yang
belakangan ini terus berusaha kuhindari.
Sosok pria
dengan rambut belah pinggir, kulit sawo matang, dan … pakaiannya kini yang
sudah bersimbah dengan bercak-bercak merah. Pun basah karena di luar hujan
deras sejak beberapa jam lalu. Khawatir mulai berselimut dan berusaha
membekapku. Aku melangkahkan kaki pelan sambil menunduk.
“Dok! Dokter
kan yang bakal nyelamatin nyawa pacar saya. Tolong selamatkan nyawanya, Dok!”
Sistem yang
menandakan aku hidup hampir berhenti keseluruhan. Tubuhku seutuhnya menegang,
ya, ketika kedua tangannya mendarat di kedua pundakku. Aku sama sekali tak
berani menatap atau sekedar melihat wajah pria ini yang sedang dalam keadaan
terluka. Berusaha agar tidak ada kontak mata antara aku dan dia.
Bayangkan
ketika seseorang yang pernah mengisi hatimu tujuh tahun lamanya, tapi itu hanya
berada dalam zona cinta sepihak. Dia yang tak pernah mencintaiku, dia yang tak
pernah mengharapkanku dan dia yang telah membuatku seperti ini. Aku belum bisa
melepaskannya sebagai cinta pertamaku.
“Semua
kehendak Tuhan,” kataku dingin sambil melepas kasar cengkraman tangannya. Aku
berlalu masih dengan menundukkan kepala. Tidak menghiraukan apakah dia
menyadariku siapa aku tadinya.
Tak ada kata
sapaan atau satu pun kalimat meluncur ketika aku mulai melangkahkan kaki masuk
ke ruang IGD. Kami pernah kenal, tapi … tidak untuk sepuluh tahun belakangan
ini. Dan … mataku semakin terbelalak saat dihadapkan dengan siapa yang menjadi
pasienku sekarang. Tidak sekedar itu, juga melihat bagaimana banyaknya darah
yang keluar dari kepalanya dan mesin detak jantung yang menggambarkan
keadaannya semakin melemah. Benar-benar aku merasakan tubuh ini seperti tidak
ada yang menahan, tulang-tulangku bak luruh. Gadis berambut hitam menjuntai
dengan wajahnya yang tirus, semakin membuatku terjerumus pada masa lalu yang
berusaha kulupakan. Mataku yang memanas semakin meluap-luap.
Aku berusaha
tenang dan mengaburkan semua tentang masa lalu. Siap dengan tim medis aku mulai
melakukan pemeriksaan. Setelah beberapa menit aku berusaha memastikan keadaan,
mulai dari cek mata, detak jantung, sampai kontrol darah.
“Operasi bisa
kita lakukan sekarang,” kataku dengan mulut yang ditutup oleh masker. Tapi para
tim medis masih bisa mendengarnya.
Melihat
orang-orang sibuk dengan peralatan operasi, aku kembali mendekat pada wanita
yang menjadi pasienku sekarang. Pura-pura tanganku memeriksa selang infus, yang
padahal tergerak untuk melihat cincin berbahan dasar emas putih yang melingkar
di jarinya.
Dadaku terasa
semakin sesak. Keadaan pria yang berada di depan pintu IGD tadi, dia yang
bajunya basah karena hujan saat akan mengantarkan wanita ini, juga berlumuran
dengan darah. Aku yakin, pria itu pasti sangat khawatir dan … sangat mencintai
wanita yang sebentar lagi akan dinikahinya.
“Na, bulan depan Azka bakal ngelangsungi
pernikahannya. Kam—“
Cepat-cepat aku
menggeleng-gelengkan kepala, mengusir pembicaraanku dengan Kenzi beberapa hari
lalu saat kami bertemu di Solaria. Noktah bening itu pun meluncur pada
akhirnya.
Jadi? Ini kah
usahaku yang tujuh tahun lamanya berusaha menghindarinya. Seolah menyibukkan
diri dan tenggelam dalam egoisnya tugas-tugas anak kuliahan. Tak menghiraukan,
berusaha tidak mendengar dan melihat apa dan bagaimana keadaan Azka. Bahkan
saat dia memiliki seorang kekasih, aku berusaha tersenyum mengatakan ‘aku tidak
apa-apa’ pada duniaku.
“Kau gadis
beruntung,” kataku sambil tersenyum kecut, lantas mengusap punggung tangan
wanita ini perlahan. “Azka … kau pantas bersanding dengannya.”
“Dok, tim
medis sudah siap!”
∞
Sejauh ini, tidak ada yang bisa mengalahkan perpaduan antara aroma mint dan
cokelat panas yang baunya menguar. Pappermint Hot Chocolate. Minuman
yang paling kugemari kerap kali berkunjung ke Plaza Mulia Mall. Aku
biasa menikmatinya di Starbuck sambil duduk di salah satu meja yang ada di
sudut ruangan, lampu yang remang-remang membuatku lebih betah berada di sini.
Ketenangan seperti berselimut lekat dan sekedar menjauhkan diri sejenak dari
rutinitas seorang dokter.
“Najma! Hei!”
Aku segera
mengangkat kepala dari suguhan layar notebook-ku. Lantas tersenyum
pada pria jangkung yang tadi mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku.
“Udah lama nunggunya?”
tambah pria tadi sambil memenuhi kursi kosong di hadapanku.
Kepalaku
menggeleng pelan sambil mengulum senyum simpul. “Kamu mau pesen apa?” tanyaku
kikuk. Entah kenapa, biar Chandra—pria di hadapanku—sudah berstatus sebagai
kekasihku selama dua bulan ini tapi tetap saja, aku masih canggung.
“Biar aku aja
yang pesen. Lanjutin deh, kerjaan nulismu. Tunggu di sini, ya…!” tukasnya
sambil melepas jaket kulit yang dikenakannya, kemudian berlalu menuju bar.
Dahiku
berkerut dalam. Rupanya dia sudah bisa menebak apa yang kulakukan setiap kali
sedang berhadapan dengan layar notebook. Aku mengakuinya sebagai sosok
pria penuh perhatian, tapi … kenapa aku belum bisa menaruh penuh hatiku
terhadap dirinya.
Cintaku masih
bertahan pada orang yang sama. Seolah daun masih takut untuk meninggalkan
ranting ketika angin berusaha meniupnya. Berulang kali kenyataan menamparku.
Tetap saja nama Azka yang bertahan di hati ini. Pikiranku pun semakin
berhamburan setelah lama tak menemuinya, akhirnya kami bertemu di rumah sakit beberapa
hari lalu. Bahkan jelas-jelas kami sudah dengan status masing-masing. Ingin
rasanya memukulkan benda keras ke kepalaku agar aku bisa melupakannya. Azka Aji
Hermawan.
“Hei, serius
banget, Na!” Chandra kembali dan kepalanya menjorok ke depan, berusaha mencari
tahu tulisan apa yang membuatku sampai berwajah seserius ini. “Ada masalah?”
tambahnya sambil memundurkan kepala dan menyantap minuman yang dipesannya.
“Enggak kok.
Lagi banyak pasien aja,” kataku berusaha berkilah. Memutar balikkan fakta.
“Yakin?”
Chandra tersenyum lembut, wajahnya terlihat lebih muda dibandingkan usianya
yang lebih tua satu tahun denganku. Ukuran ketampanan Chandra dan Azka tidak
jauh berbeda, tapi… bukan ketampanan yang menjadi alasanku mencintai
seseorang.
“Gimana sama
tugas kepolisianmu di Balikpapan?”
“Na, aku
enggak bisa kamu bohongi. Di mataku kamu adalah gadis yang selalu gagal tiap
kali akan berbohong. Aku tahu kok kabar pernikahan Azka dan Hanum.”
Hatiku
mencelos. Kenzi, siapa lagi yang bermulut ember di antara teman-teman satu
angkatan semasa SMA kecuali dia.
“Kali ini
jangan nyalahin Kenzi. Kemaren Azka yang cerita sendiri ke aku.”
Aku tersenyum
dongkol. Ah! Lagi-lagi Chandra bisa membaca pikiranku. Aku memang wanita paling
bodoh saat akan bertindak sabagai pelaku pembohong. Dan paling sering melesat
saat akan mencoba perkiraan.
“Chandra…,”
kali ini aku tak berani melanjutkan kalimatku. Chandra tahu kalimat apa yang
akan aku utarakan saat aku berada di zona kehidupan Azka. Ia tahu semua tentang
isi hatiku, bagaimana perasaanku terhadap Azka, sampai usahaku untuk move
on. Dia pria yang terlalu baik karena masih sabar menghadapiku yang
seperti ini.
Sekarang
Chandra mengangguk-anggukan kepala lantas tersenyum setelah menyesap kembali
minumannya. “Kamu ini cinta gila kah sama Azka, Na?” katanya malah terkekeh.
Kekasih macam apa ini? Kecemburuan saja tidak tampak di wajahnya. Seharusnya
aku juga harus menilai diri, adakah wajah kecintaanku terhadap Chandra,
sekarang?
“Chand, buat apa? Aku udah punya
kamu dan Azka udah punya Hanum.”
“Najma….”
Chandra menatapku lurus-lurus, tangannya terulur mengambil tanganku lantas
diusapnya pelan. “Aku tahu saat ini kamu masih membutakan cintamu pada
Azka. Dan aku, Chandra Farid Assyraaf, berusaha menjadi pendonor mata hatimu
agar kamu bisa melihat dan menerima kehadiran cintaku.”
Saat itu pun
aku merasakan tubuh ini bergetar. Oh, Tuhan! Kemanakah perginya cintaku selama
ini? Sosok Azka benar-benar menutup mataku dari orang-orang sekeliling yang
telah menyediakan ruang cintanya untukku.
Kali ini
tangan Chandra terangkat ke udara dan menyelipkan poniku yang berhamburan di
balik telinga.
“Maafin aku,
karena….” Aku berusaha mengeluarkan satu atau dua patah kata dari kerongkongan
yang sesak.
Tapi Chandra
seolah tak menyediakanku ruang untukku berbicara. “Jika memang bukan orang yang
selalu ada di doamu yang menjadi pendampingmu kelak,”-teringat saat aku yang
sering berdoa tanpa melupakan nama Azka-“maka izinkan orang yang sering
menyebut namamu di dalam doanya yang akan menjadi pendampingmu. Kamu mau kan
tunangan sama aku?”
Aku
benar-benar merasa berdosa. Tidak seharusnya aku terus-terusan, menjebak diriku
pada kenyataan cinta yang tidak akan pernah bisa dirubah seperti ini. Azka
tidak akan pernah menjadi milikku. Dan aku tidak pernah ditakdirkan untuk
menjadi milik Azka.
“Aku—“
rasanya ada yang mencekat tenggorokan, lagi.
Sudut-sudut
bibir Chandra tertarik. Menertawaiku kemudian karena betapa gugupnya aku sekarang.
Oh, ini tidak lucu Chand!
“Kamu mau
nggak?” katanya mengulangi sambil menyentil hidungku.
“Jadi ini
alasanmu bela-belain datang ke Samarinda sambil ninggalin tugas di Balikpapan?”
Aku mulai mengintimidasi sambil melipat tangan di depan dada.
“Eh?” Dia
mengibas-ngibaskan tangan. “Enggak, ya! Aku udah dapet izin dua hari dari
atasan. Besok malam harus udah balik lagi ke Balikpapan. Terus jawabanmu apa
ini? Aku enggak mau dong buang-buang waktuku gitu aja. Time is money!”
Pipiku
menghangat dan tidak tahu bagaimana rupanya sekarang. Kenapa baru sekarang?
Apakah daun sudah berani meninggalkan ranting setelah tertiup angin, beberapa
detik? Aku merasakan sesuatu yang mulai menulusup di hatiku. Senyum dan tawa
Chandra bak minuman yang mulai memabukkan sekarang. Benarkah aku sudah bisa
menggantikannya?
“Iya… aku
mau,” ucapku pada akhirnya. Kulihat Chandra mengeluarkan sesuatu dari saku
celananya. Kemudian, Chandra mengangsurkan sebuah kotak berwarna merah maroon yang di dalamnya tampak sebuah
cincin emas putih bertengger di sana.
“Aku denger,
kemaren kamu nangani langsung pacarnya Azka. Hebat berarti, ya?”
Bibirku
menekuk ke bawah sambil mendengus. “Aku kan dokter!” Senyum seketika memenuhi
wajahku setelah Chandra berhasil memasangkan benda berbentuk bulat itu di jari
manisku.
“Besok
sebelum berangkat ke Balikpapan aku mau jenguk dulu. Kamu ikut, ya?”
“Siap, Pak
Polisi!” Aku tertawa kemudian. Chandra pun tampak gemas dengan mengacak-acak
rambutku. Ah, cinta itu memang butuh proses.
Ada tahap move
on dan ada tahap untuk menemukan cinta yang baru. Cinta yang sesungguhnya.
Berhenti di tahap ini, atau memilih membuka mata. Tersenyum pada dunia dan merajut hal baru yang indah. Keterpurukan bukan akhir dari gelapnya dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar