source. google |
When i miss you, Dad...
Lembayung
senja menguasa di kaki langit, ketika kelas sudah dipulangkan. Angin sore
menjadi teman bisu gadis berkucir kuda itu menyusuri jalanan menuju ke rumahnya
Tungkai kaki
Bianca berhenti bergerak, tali salah satu sepatu kets-nya terlepas. Jemarinya
segera menalikan. Selesai. Dan… baru gadis itu menaikkan kepala, matanya
langsung terarah pada sedan hitam yang ada di sebrang jalan. Berhenti tepat di
depan rumahnya.
Gadis itu
menelan ludah. Angannya ditarik jauh oleh sebuah masa lalu yang tercatat paling
tebal dalam ingatannya. Pada masa empat tahun silam. Saat itu Bianca masih
duduk di bangku SMP.
PLAAKK!!
Seumur hidup
untuk pertama kalinya Bianca merasakan sebuah tangan mendarat keras tepat di
pipi kirinya. Ia pun tak bersuara. Memilih membalikkan badan dan berlari tanpa
arah. Hujan menjadi teman langkah gadis itu yang sedang goyah. Malam pun ikut
bisu pasca kejadian.
Ayah
menamparku? Ketidakpercayaan itu berkecamuk dalam benak gadis berumur dua belas
tahun sepertinya. Langkah serampangan hingga akhirnya ia berhenti dan duduk di
atas trotoar. Memeluk kakinya sambil menggigil.
“Kenapa?
Kenapa ayah lebih membela keponakan berengsek itu dari pada aku?! Yang jadi
anakmu itu aku, bukan dia!” Fluida-fluida yang berjatuhan menjadi saksi amarah
Bianca.
Keponakan
yang berusia dua tahun lebih tua dari gadis itu berhasil mengadu domba sang
ayah dengan Bianca. Semenjak kedatangannya, ia memang tidak menyukai kehadiran
anak omnya itu.
Dua minggu
Bianca memilih tinggal di rumah adik ibunya. Dia mau pulang ketika sang ayah
menjemputnya dan menghadiahkannya sebuah sepeda baru. Dan pada saat yang
bersamaan, ayahnya mengaku salah dan keponakannya itu dipulangkan.
Gerimis yang
jatuh di badan Bianca menyadarkan gadis itu dari lamunannya dan, kemana
seharusnya dia berteduh saat ini. Rumahmu adalah istanamu, begitu kata
kebanyakan orang.
“Aku
pulang….”
Tak ada yang
menyahut. Bianca sudah biasa dengan ini. Jam segini biasanya sang ibu sedang
mengantarkan makanan ke rumah neneknya. Saat akan menaiki tangga menuju
kamarnya, tiba-tiba retina gadis itu menangkap sosok sang ayah di meja makan
sedang membaca koran. Seolah seperti tidak tahu menahu tentang keberadaan
Bianca.
Diurungkan
niatnya untuk menyapa. Tidak! Tidak! Ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan
kejadian empat tahun silam. Bianca sendiri bingung, kenapa ayahnya sangat
berbeda dengan ayah teman-temannya. Ayah Bianca memang bukan orang yang
seringkali marah, tapi jika sekali marah bisa disamakan dengan tsunami yang
berhasil meluluhlantakkan apa saja.
Banyak
artikel sudah Bianca baca demi mengatasi masalahnya saat ini. Tapi … hanya satu
hal yang dapat ia simpulkan dari sekian banyak artikel itu. Seorang ayah
memiliki caranya tersendiri untuk menyampaikan kasih sayangnya. Yang terkadang,
harus terselip dalam kesibukan pekerjaan mereka dan akhirnya disalah artikan
oleh putra-putri mereka.
Bukannya
tidak ingin menaruh hormat. Bianca menghela napas, lantas menaiki tangga menuju
kamar dibanding menghampiri ayahnya dan melakukan ritual cium pipi seperti anak
kebanyakan. Beberapa minggu yang lalu, bercanda sedikit saja Bianca sudah
dikatai sebagai anak yang kurang sopan santun.
Jadi, ya,
lebih baik tidak usah membangunkan singa yang sedang tidur. Meski diakui,
Bianca rindu keakraban bersama sang ayah di masa kecilnya. Langit kurang
sempurna tanpa kehangatan ayahnya. Seperti tidak ada matahari di dalamnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar