Sabtu, 11 Februari 2017

Langit Belum Sempurna


source. google

When i miss you, Dad...
Lembayung senja menguasa di kaki langit, ketika kelas sudah dipulangkan. Angin sore menjadi teman bisu gadis berkucir kuda itu menyusuri jalanan menuju ke rumahnya
Tungkai kaki Bianca berhenti bergerak, tali salah satu sepatu kets-nya terlepas. Jemarinya segera menalikan. Selesai. Dan… baru gadis itu menaikkan kepala, matanya langsung terarah pada sedan hitam yang ada di sebrang jalan. Berhenti tepat di depan rumahnya.

Gadis itu menelan ludah. Angannya ditarik jauh oleh sebuah masa lalu yang tercatat paling tebal dalam ingatannya. Pada masa empat tahun silam. Saat itu Bianca masih duduk di bangku SMP.
PLAAKK!!
Seumur hidup untuk pertama kalinya Bianca merasakan sebuah tangan mendarat keras tepat di pipi kirinya. Ia pun tak bersuara. Memilih membalikkan badan dan berlari tanpa arah. Hujan menjadi teman langkah gadis itu yang sedang goyah. Malam pun ikut bisu pasca kejadian.
Ayah menamparku? Ketidakpercayaan itu berkecamuk dalam benak gadis berumur dua belas tahun sepertinya. Langkah serampangan hingga akhirnya ia berhenti dan duduk di atas trotoar. Memeluk kakinya sambil menggigil.
“Kenapa? Kenapa ayah lebih membela keponakan berengsek itu dari pada aku?! Yang jadi anakmu itu aku, bukan dia!” Fluida-fluida yang berjatuhan menjadi saksi amarah Bianca.
Keponakan yang berusia dua tahun lebih tua dari gadis itu berhasil mengadu domba sang ayah dengan Bianca. Semenjak kedatangannya, ia memang tidak menyukai kehadiran anak omnya itu.
Dua minggu Bianca memilih tinggal di rumah adik ibunya. Dia mau pulang ketika sang ayah menjemputnya dan menghadiahkannya sebuah sepeda baru. Dan pada saat yang bersamaan, ayahnya mengaku salah dan keponakannya itu dipulangkan.
Gerimis yang jatuh di badan Bianca menyadarkan gadis itu dari lamunannya dan, kemana seharusnya dia berteduh saat ini. Rumahmu adalah istanamu, begitu kata kebanyakan orang.
“Aku pulang….”
Tak ada yang menyahut. Bianca sudah biasa dengan ini. Jam segini biasanya sang ibu sedang mengantarkan makanan ke rumah neneknya. Saat akan menaiki tangga menuju kamarnya, tiba-tiba retina gadis itu menangkap sosok sang ayah di meja makan sedang membaca koran. Seolah seperti tidak tahu menahu tentang keberadaan Bianca.
Diurungkan niatnya untuk menyapa. Tidak! Tidak! Ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan kejadian empat tahun silam. Bianca sendiri bingung, kenapa ayahnya sangat berbeda dengan ayah teman-temannya. Ayah Bianca memang bukan orang yang seringkali marah, tapi jika sekali marah bisa disamakan dengan tsunami yang berhasil meluluhlantakkan apa saja.
Banyak artikel sudah Bianca baca demi mengatasi masalahnya saat ini. Tapi … hanya satu hal yang dapat ia simpulkan dari sekian banyak artikel itu. Seorang ayah memiliki caranya tersendiri untuk menyampaikan kasih sayangnya. Yang terkadang, harus terselip dalam kesibukan pekerjaan mereka dan akhirnya disalah artikan oleh putra-putri mereka.
Bukannya tidak ingin menaruh hormat. Bianca menghela napas, lantas menaiki tangga menuju kamar dibanding menghampiri ayahnya dan melakukan ritual cium pipi seperti anak kebanyakan. Beberapa minggu yang lalu, bercanda sedikit saja Bianca sudah dikatai sebagai anak yang kurang sopan santun.
Jadi, ya, lebih baik tidak usah membangunkan singa yang sedang tidur. Meski diakui, Bianca rindu keakraban bersama sang ayah di masa kecilnya. Langit kurang sempurna tanpa kehangatan ayahnya. Seperti tidak ada matahari di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar