source. google |
Hujan
menyisakan gerimis di langit Jakarta sore itu. Kemacetan yang mengular panjang
sudah menjadi makanan hari-hari bagi pengguna jalan di kota-kota besar. Hampir
saja Najma menabrak bagian belakang mobil di depannya, jika ia tak cepat-cepat
mengubah persneling dari D ke P. Ponsel yang sengaja diletakkan
pemiliknya di kursi yang berdampingan dengan kursi pengemudi itu tiba-tiba ikut
menyeruakan suara di antara klakson-klakson mobil yang berteriak.
Najma
menggeser layar ponsel dengan cepat, setelah menyadari siapa yang menelponnya.
“Iya, aku masih di jalan. Kututup, ya, enggak baik kan mengemudikan mobil
sambil menerima telepon,” terangnya kemudian menutup ponsel secara sepihak.
Perlahan
mobil Honda Jazz yang dikemudikannya kembali bergerak, meski masih melamban.
Hingga beberapa menit kemudian, Najma berhasil lepas dari kemacetan dan
melajukan mobilnya ke jalanan yang lebih sepi. Ia berhenti tepat di sebuah
restoran yang bergayakan khas Jepang, masih di wilayah Jakarta.
Ia berjalan
dengan tenang masuk melewati pintu restoran. Tak lama, matanya menemukan sosok
yang tadi menelponnya saat masih di jalan. Tepat di sudut restoran yang
berdampingan langsung dengan sebuah jendela berukuran besar, sudah bisa
dipastikan, dari sana ia bisa menikmati kota Jakarta secara leluasa. Mengamati
langit yang semakin lama tak seindah waktu-waktu sebelumnya.
“Sudah lama?”
Najma berbasa-basi sambil menempati kusi kosong di depan seorang pria.
“Yah, telat
satu jam, kok.” Wajah pria itu masih tenang sambil mengamati gerak jarum jam di
tangannya.
Najma menampilkan
senyum gusi yang sudah menjadi kebiasaannya. Kemudian pria itu melambaikan
tangannya, berniat memesan makanan untuk mereka berdua. Hambaagu[1]
menjadi set menu pilihan sepihak. Najma tidak memprotes, karena pria ini sudah
tahu yang diinginkannya.
“Na, besok
aku harus balik lagi ke Jepang. Padahal masih pengen tinggal lama di sini,
masih pengen nikmati udara kota kelahiran. Coba dulu habis lulus dari
Universitas milih kerja di Jakarta daripada nerima tawaran di sana.”
“Memang
enggak boleh ngundurin diri?”
Kepala pria
itu menggeleng. “Aku kesepian di sana, Na.”
Dahi Najma
bekerut, ia menatap lurus-lurus pria berkulit sawo matang di depannya. “Apa
tidak sebaiknya kamu segera mencari pasangan, Chand? Supaya ada yang ngurus
kamu, gitu, hampir tiap bulan kamu pulang-pergi Jakarta-Jepang.” Dalam hati
Najma mencelos ketika mengatakan hal tersebut. Bagi sebagaian orang, yang
melihat kedekatan antara Najma dan Chandra ini pasti mengira mereka adalah
pasangan kekasih. Padahal, kenyataan bercerita tidak seperti itu.
Di sini Najma
merasa menjadi sisi yang paling tersakiti. Ia telah menjalin hubungan
persahabatan dengan Chandra semenjak mereka duduk di bangku taman kanak-kanak.
Dan ia harus menelan pahit-pahit rasanya cinta sepihak. Randy tak memiliki
perasaan yang sama dengannya.
Di masa silam
Najma pernah mengira bahwa Chandra benar-benar mencintainya. Sewaktu duduk di
bangku taman kanak-kanak, pria di hadapannya itu pernah mengatakan hal yang tak
terduga bagi gadis kecil sepertinya.
“Na, berikan
kelingkingmu padaku?”
Awalnya Najma
kecil tak mengerti, ia mengira jika Chandra akan membuat janji agar mereka
tepati. Tapi … tiba-tiba Chandra mengeluarkan seutas benang berwarna merah tua
dari saku celana seragamnya. Pertama, ia mengikat di jari kelingkingnya dan
kemudian dilanjutkan dengan mengikatnya di kelingking Najma.
Chandra kecil
memamerkan deretan gigi susunya yang tampak terawat. “Ini namanya makka na ito, Na. Semalam aku nonton
drama Jepang yang ditonton kakakku, yang cowok mengaitkannya di tangan
ceweknya.”
“Untuk apa,
Chand?”
“Kata kakak,
ini untuk tali jodoh,” Chandra mengacungkan kelingkingnya yang terlilit benang
tadi. “Aku pengen … kamu jadi permaisuriku di masa mendatang.”
Menakjubkan
memang bagi anak-anak seusia mereka. Najma sendiri perlu bertahun-tahun untuk
memahaminya. Hingga ia mengerti, bahwa di masa itu Chandra berharap bahwa ia
akan menjadi pasangannya. Dan, pernah suatu hari sewaktu mereka sudah duduk di
bangku SMA, Najma tak sengaja mengungkit-ungkit masa itu, yang didapatkan pun
bukan jawaban yang memuaskan.
“Itu, kan,
cuma akal-akalan anak kecil saja, Na. Masih enggak tahu apa-apa.”
Najma merasa
harus menjilat kembali ludahnya sendiri. Rupanya, perasaan itu hanya dirasakan
dalam dirinya sepihak, yang dicinta tak mecintainya. Chandra selalu
beranggapan, bahwa mereka hanya sepasang sahabat yang akan abadi sampai maut
memisahkan.
Walaupun
begitu, Najma masih berani mempertaruhkan perasaannya. Meski pelik. Ia tetap
yakin jika benang jodoh itu benar-benar menakdirkannya bersama Chandra. Karena
di antara persahabatan mereka, Chandra tak pernah menceritakan bahwa ia sedang
dekat dengan wanita. Bahkan sampai kepergian Chandra ke Jepang untuk kuliah,
Bianca tetap yakin bahwa Chandra akan menjaga hatinya untuk orang yang selalu
menunggunya.
Suara dehaman
pria itu kembali menyadarkannya. “O, ya, Na, soal itu,” Chandra meraih tas di
samping tangannya. Ia tampak mengeluarkan sesuatu. Mata Najma jatuh di setiap
pergerakan tangan Chandra sampai sebuah amplop berwarna merah jambu memenuhi
retinanya. Saat itu juga ia merasakan hawa tubuhnya sedingin es.
“Apa ini,
Chand?” tanya Najma ketika Chandra menyodorkan di hadapannya. Dalam hati, Najma
berharap ini bukan sesuatu yang bisa membuatnya terkena serangan jantung
tiba-tiba.
“Buka, dong!”
Tangan Najma
mulai membukanya. Dentuman-dentuman detak jantungnya jadi makin tak karuan.
Pikiran gadis ini mulai kemana-mana. Hingga akhirnya….
Tamparan
keras dari sebuah hal yang dinamakan kenyataan. Najma tersenyum getir. Perlahan
ia menutup undangan tersebut sambil susah payah menahan agar air matnya tak
keluar. “Kamu enggak pernah bilang, Chand? Kalo kamu deket sama cewek.”
Sebuah senyum
mengukir di bibir tipis Chandra. “Kakek yang menjodohkanku dengan cucu
kenelannya di Jepang. Waktu kami sedikit dan ini juga dadakan.”
“Orang
Jepang, ya? Pasti cantik dan lebih putih dari aku.” Najma tergelak. Tapi apa
yang dilihatkannya saat ini memang tidak seperti yang dirasakannya. Rasanya
ingin sekali ia pergi dari sini, menjaga jarak sejauh-jauhnya dari Chandra atau
jika bisa ia tidak pernah ingin mengenalnya di masa silam. Agar persaan ini tak
pernah ada dan luka itu pun juga tidak akan pernah hadir.
“Dia lagi di
Jakarta sekarang. Lagi nyelesein kuliah S2 di Universitas Indonesia.”
Bibir Najma membuat
bulatan kecil.
“Datang, ya,
Na? Kamu masuk jajaran sebagai tamu undangan spesial lo. Kamu masih jadi
sahabatku, kan?”
Najma menarik
napas. “Iya, Chand.” Setitik cairan bening akhirnya meniti pipi tirusnya.
Semoga Chandra mengartikan bahwa ia menangis karena terharu, melihat sahabat
sejak kecilnya sudah akan menikah. Barang kali, tak lama lagi ia akan menyusul.
Mendapat yang lebih baik dari sosok pria jangkung di hadapannya saat ini.
‘Chand, jika aku memang ditakdirkan bukan
sebagai pendamping hidupmu. Kurasa, benang merah di masa silam itu menakdirkan
kita sebagai sahabat yang akan terus abadi.’
[1]
Hambagu adalah makanan jepang yang mendapat pengaruh dari eropa (humburger)
namun rasanya mengikuti lidah jepang, kekhasannya dicampur tahu dan sausnya
ditambah wijen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar