Sabtu, 11 Februari 2017

Makka Na Ito


source. google

 Hujan menyisakan gerimis di langit Jakarta sore itu. Kemacetan yang mengular panjang sudah menjadi makanan hari-hari bagi pengguna jalan di kota-kota besar. Hampir saja Najma menabrak bagian belakang mobil di depannya, jika ia tak cepat-cepat mengubah persneling dari D ke P. Ponsel yang sengaja diletakkan pemiliknya di kursi yang berdampingan dengan kursi pengemudi itu tiba-tiba ikut menyeruakan suara di antara klakson-klakson mobil yang berteriak.
Najma menggeser layar ponsel dengan cepat, setelah menyadari siapa yang menelponnya. “Iya, aku masih di jalan. Kututup, ya, enggak baik kan mengemudikan mobil sambil menerima telepon,” terangnya kemudian menutup ponsel secara sepihak.

Perlahan mobil Honda Jazz yang dikemudikannya kembali bergerak, meski masih melamban. Hingga beberapa menit kemudian, Najma berhasil lepas dari kemacetan dan melajukan mobilnya ke jalanan yang lebih sepi. Ia berhenti tepat di sebuah restoran yang bergayakan khas Jepang, masih di wilayah Jakarta.
Ia berjalan dengan tenang masuk melewati pintu restoran. Tak lama, matanya menemukan sosok yang tadi menelponnya saat masih di jalan. Tepat di sudut restoran yang berdampingan langsung dengan sebuah jendela berukuran besar, sudah bisa dipastikan, dari sana ia bisa menikmati kota Jakarta secara leluasa. Mengamati langit yang semakin lama tak seindah waktu-waktu sebelumnya.
“Sudah lama?” Najma berbasa-basi sambil menempati kusi kosong di depan seorang pria.
“Yah, telat satu jam, kok.” Wajah pria itu masih tenang sambil mengamati gerak jarum jam di tangannya.
Najma menampilkan senyum gusi yang sudah menjadi kebiasaannya. Kemudian pria itu melambaikan tangannya, berniat memesan makanan untuk mereka berdua. Hambaagu[1] menjadi set menu pilihan sepihak. Najma tidak memprotes, karena pria ini sudah tahu yang diinginkannya.
“Na, besok aku harus balik lagi ke Jepang. Padahal masih pengen tinggal lama di sini, masih pengen nikmati udara kota kelahiran. Coba dulu habis lulus dari Universitas milih kerja di Jakarta daripada nerima tawaran di sana.”
“Memang enggak boleh ngundurin diri?”
Kepala pria itu menggeleng. “Aku kesepian di sana, Na.”
Dahi Najma bekerut, ia menatap lurus-lurus pria berkulit sawo matang di depannya. “Apa tidak sebaiknya kamu segera mencari pasangan, Chand? Supaya ada yang ngurus kamu, gitu, hampir tiap bulan kamu pulang-pergi Jakarta-Jepang.” Dalam hati Najma mencelos ketika mengatakan hal tersebut. Bagi sebagaian orang, yang melihat kedekatan antara Najma dan Chandra ini pasti mengira mereka adalah pasangan kekasih. Padahal, kenyataan bercerita tidak seperti itu.
Di sini Najma merasa menjadi sisi yang paling tersakiti. Ia telah menjalin hubungan persahabatan dengan Chandra semenjak mereka duduk di bangku taman kanak-kanak. Dan ia harus menelan pahit-pahit rasanya cinta sepihak. Randy tak memiliki perasaan yang sama dengannya.
Di masa silam Najma pernah mengira bahwa Chandra benar-benar mencintainya. Sewaktu duduk di bangku taman kanak-kanak, pria di hadapannya itu pernah mengatakan hal yang tak terduga bagi gadis kecil sepertinya.
“Na, berikan kelingkingmu padaku?”
Awalnya Najma kecil tak mengerti, ia mengira jika Chandra akan membuat janji agar mereka tepati. Tapi … tiba-tiba Chandra mengeluarkan seutas benang berwarna merah tua dari saku celana seragamnya. Pertama, ia mengikat di jari kelingkingnya dan kemudian dilanjutkan dengan mengikatnya di kelingking Najma.
Chandra kecil memamerkan deretan gigi susunya yang tampak terawat. “Ini namanya makka na ito, Na. Semalam aku nonton drama Jepang yang ditonton kakakku, yang cowok mengaitkannya di tangan ceweknya.”
“Untuk apa, Chand?”
“Kata kakak, ini untuk tali jodoh,” Chandra mengacungkan kelingkingnya yang terlilit benang tadi. “Aku pengen … kamu jadi permaisuriku di masa mendatang.”
Menakjubkan memang bagi anak-anak seusia mereka. Najma sendiri perlu bertahun-tahun untuk memahaminya. Hingga ia mengerti, bahwa di masa itu Chandra berharap bahwa ia akan menjadi pasangannya. Dan, pernah suatu hari sewaktu mereka sudah duduk di bangku SMA, Najma tak sengaja mengungkit-ungkit masa itu, yang didapatkan pun bukan jawaban yang memuaskan.
“Itu, kan, cuma akal-akalan anak kecil saja, Na. Masih enggak tahu apa-apa.”
Najma merasa harus menjilat kembali ludahnya sendiri. Rupanya, perasaan itu hanya dirasakan dalam dirinya sepihak, yang dicinta tak mecintainya. Chandra selalu beranggapan, bahwa mereka hanya sepasang sahabat yang akan abadi sampai maut memisahkan.
Walaupun begitu, Najma masih berani mempertaruhkan perasaannya. Meski pelik. Ia tetap yakin jika benang jodoh itu benar-benar menakdirkannya bersama Chandra. Karena di antara persahabatan mereka, Chandra tak pernah menceritakan bahwa ia sedang dekat dengan wanita. Bahkan sampai kepergian Chandra ke Jepang untuk kuliah, Bianca tetap yakin bahwa Chandra akan menjaga hatinya untuk orang yang selalu menunggunya.
Suara dehaman pria itu kembali menyadarkannya. “O, ya, Na, soal itu,” Chandra meraih tas di samping tangannya. Ia tampak mengeluarkan sesuatu. Mata Najma jatuh di setiap pergerakan tangan Chandra sampai sebuah amplop berwarna merah jambu memenuhi retinanya. Saat itu juga ia merasakan hawa tubuhnya sedingin es.
“Apa ini, Chand?” tanya Najma ketika Chandra menyodorkan di hadapannya. Dalam hati, Najma berharap ini bukan sesuatu yang bisa membuatnya terkena serangan jantung tiba-tiba.
“Buka, dong!”           
Tangan Najma mulai membukanya. Dentuman-dentuman detak jantungnya jadi makin tak karuan. Pikiran gadis ini mulai kemana-mana. Hingga akhirnya….
Tamparan keras dari sebuah hal yang dinamakan kenyataan. Najma tersenyum getir. Perlahan ia menutup undangan tersebut sambil susah payah menahan agar air matnya tak keluar. “Kamu enggak pernah bilang, Chand? Kalo kamu deket sama cewek.”
Sebuah senyum mengukir di bibir tipis Chandra. “Kakek yang menjodohkanku dengan cucu kenelannya di Jepang. Waktu kami sedikit dan ini juga dadakan.”
“Orang Jepang, ya? Pasti cantik dan lebih putih dari aku.” Najma tergelak. Tapi apa yang dilihatkannya saat ini memang tidak seperti yang dirasakannya. Rasanya ingin sekali ia pergi dari sini, menjaga jarak sejauh-jauhnya dari Chandra atau jika bisa ia tidak pernah ingin mengenalnya di masa silam. Agar persaan ini tak pernah ada dan luka itu pun juga tidak akan pernah hadir.
“Dia lagi di Jakarta sekarang. Lagi nyelesein kuliah S2 di Universitas Indonesia.”
Bibir Najma membuat bulatan kecil.
“Datang, ya, Na? Kamu masuk jajaran sebagai tamu undangan spesial lo. Kamu masih jadi sahabatku, kan?”
Najma menarik napas. “Iya, Chand.” Setitik cairan bening akhirnya meniti pipi tirusnya. Semoga Chandra mengartikan bahwa ia menangis karena terharu, melihat sahabat sejak kecilnya sudah akan menikah. Barang kali, tak lama lagi ia akan menyusul. Mendapat yang lebih baik dari sosok pria jangkung di hadapannya saat ini.
‘Chand, jika aku memang ditakdirkan bukan sebagai pendamping hidupmu. Kurasa, benang merah di masa silam itu menakdirkan kita sebagai sahabat yang akan terus abadi.’


[1] Hambagu adalah makanan jepang yang mendapat pengaruh dari eropa (humburger) namun rasanya mengikuti lidah jepang, kekhasannya dicampur tahu dan sausnya ditambah wijen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar