Jumat, 10 Februari 2017

Bersama Desember


source. google


Desember, 18-2014 
Sekali lagi ia mematut diri di depan cermin. Pantulan di dalam gambarnya membisu, sama halnya dengan orang yang sedang memandangnya. Wajah oriental dengan sapuan bedak tipis itu tampak semakin pucat. Dan setelan dress bridesmaid berwarna peach yang membalut tubuhnya terlihat lebih longgar dari sebelumnya.
Serena tertunduk. Berharap setelah ini tak ada lagi tumpahan air mata. Bayangan lain yang terpantul di cermin seolah menangkap kerapuhannya saat ini. Aluna berjalan mendekat, ia menarik tubuh gadis itu dan satu rengkuhan seorang sahabat diberikan kepada Serena. Seberapa kuat gadis itu menahan cairan bening itu untuk tidak keluar, tapi tetap saja … air mata itu akan jatuh walau setitik. Perih itu semakin deras.
“Kamu bisa, Dear,” bisik Aluna di telinga Serena. Ia mengusap-usap pelan punggung sahabatnya itu untuk beberapa saat, lantas melepaskan pelukannya. “Ini hari spesial untuk sang mempelai pria. Kau tak ingin melihat yang dicinta bahagia?” Aluna menangkupkan tangannya di pipi gadis itu sambil menghapus jejak air mata yang sempat menanggalkan perihnya di sana.
‘Tentu saja, Lun. Aku pasti ingin melihat orang yang pernah singgah di dalam hatiku itu bahagia. Walau kebahagiaan itu bercerita dengan kenyataan yang berbeda,’ batin Seren.

Mulutnya ingin terbuka, tapi tak sanggup. Akhirnya kepala itu hanya bisa mengangguk gamang. Sebuah senyum menggantung di bibir Aluna. Seolah dia percaya jika sahabatnya itu bisa. Walau yang ditampakkan tidak sesuai dengan apa yang dirasakan. Penyesalan itu begitu dalam, tertanam jauh di hati gadis lemah seperti Serena Wulandari. ‘Aku masih mencintainya dan … mengharapkannya.’
“Yaudah, yuk, sekarang kita berangkat. Acaranya mau dimulai sebentar lagi.”
Suara lembut Aluna kembali menyadarkannya. Serena cepat-cepat memoleskan bedak untuk menutupi kesedihan yang sempat tercipta. Tentu ia tidak berniat menghancurkan suasana hati sosok itu nantinya. Jika dia bahagia, maka Serena harus bahagia walau tak ada lagi yang menjadi ‘dia’ di sisinya.
Segera dikenakannya stiletto beludru cokelat cream bertali pengait. Dan saat akan mengambil tas yang berada tak jauh dari pandangannya, Serena sempat kembali mematut pada sebuah undangan berwarna ungu di atas meja rias. Ia masih ingat kapan terakhir kali membukanya. Seminggu yang lalu terhitung sejak dia menjelma sebagai sosok paling lemah di dunia ini. Serena menelan ludah. Segera dijauhkan pandangannya dan menyusul Aluna yang menunggu di depan pintu kamar.
Honda Jazz yang dikendarai Aluna berjalan melamban di sebuah perempatan lampu merah. Sementara menunggu lampu berwarna hijau, gadis dengan penampilan little white dress itu berusaha menjangkau Serena dari spion depan.
“Kita bisa putar balik, Re. Kalo memang kamu enggak sanggup.”
I’m okay. Don’t worry,” ungkap gadis di jok belakang, lirih. Kemudian ia tersenyum walau harus susah payah. Mungkin ia akan menjadi gadis paling pengecut jika tak memberanikan diri hadir dalam acara tersebut.
Mobil pun kembali bergerak setelah lampu berubah hijau. Aluna membelokkan mobilnya ke kiri dan berhenti di sebuah gedung besar yang telah disulap menjadi sebuah tempat resepsi. Jantung Seren tiba-tiba berdebar hebat. Tulang-tulangnya seperti luruh ke bawah. Ia menghirup napas dari udara sekitar.
“Re?”
“….”
“Re, elo bisa kan?”
Gadis yang disebut namanya itu lantas mengangkat kepala, tersenyum kecut pada gadis yang duduk di jok depan. Setelah mendapatkan sebuah anggukan, Aluna pun keluar dari mobil disusul oleh Serena.
Tepat di depan pintu masuk gedung. Sebuah foto pre-wedding dengan latar pantai kuta Bali berukuran besar menyambut kedatangan mereka. Ini menjadi pukulan pertama untuk gadis seperti Serena melangkahkan kaki di sini. Hatinya berdesir hebat.
Masa lalu terus berjubelan dalam benaknya. Meracau menjadi satu minta diingat. Salah satunya menyelipkan keinginan agar Serena bisa kembali pada masa lima tahun lalu.

Desember, 18-2009
             Sudah lebih dari pukul delapan malam, Serena masih berkutat dengan lembaran-lembaran kertas yang berisikan alokasi dana untuk proyek pembangunan gedung baru, tempatnya bekerja. Sudah banyak dari rekan kerjanya yang pulang, tapi, tetap saja Serena keras kepala. Ia ingin cepat menyelesaikan pekerjaannya. Karena setelah itu, wanita berusia dua puluh tiga tahun ini berniat mengambil cuti panjang demi persiapan pernikahan sepupu kesayangannya bulan depan.
Tiba-tiba, ponsel di samping tangannya berdering dan Serena segera menggeser tombol hijau ke sebelah kanan. Dari Yohan. Pria berusia dua puluh empat tahun itu berstatus sebagai kekasih Serena Wulandari. Hubungan mereka juga baru seumur jagung.
“Belum pulang juga? Atau perlu aku jemput?” terang suara berat dari sebrang teleponnya.
“Sebentar lagi. Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri,” jawab Serena, sambil mencoret-coret kertas demi menghitung dana yang dibutuhkan perusahaan.
Terdengar Serena mengiyakan sebelum menutup sambungan telepon dari Yohan. Ia menghela napas kasar. Kali ini, Yohan berpesan agar dirinya pulang tidak sampai larut malam hanya demi sebuah pekerjaan. Serena sendiri mengakui bahwa kekasihnya itu begitu perhatian. Tapi, entah kenapa, Serena tak bisa mengartikan bahwa cintanya benar-benar ia berikan pada pria dewasa itu.
Serena termangu sejenak, sekedar mengistirahatkan sistem kerja otaknya. Sepasang bola matanya mengamati petak-petak jendela kaca ruang kerjanya, di mana malam sudah benar-benar berselimut di langit Bandung. Tak lama, ketenangan singkat wanita ini sudah harus kembali diusik dengan sebuah dering ponsel yang menandakan pesan masuk. Dari pengirim tanpa nama.
Seren, bisa kita ketemu sekarang? Aku sudah menunggumu di bawah.
Mata gadis itu kontan membulat, dan ia hampir tersedak cairan salivanya sendiri setelah membaca siapa pengirim pesan tersebut, yang baru ia temukan di akhir pesan.
          Dari Kevin.
“Kevin?” bibir tipisnya mengulangi hal yang dibaca dalam hatinya. Ya, nama itu memang tidak asing di memori otaknya.
Kevin Hendrawan. Dia adalah cinta pertama Serena sekaligus mantan pertamanya, ketika wanita ini pertama kali masuk SMA. Hubungan mereka kandas setelah Kevin memilih untuk melanjutkan sekolah di luar Negeri. Sedikit banyak, sampai saat ini Serena masih mengharapkan hubungannya. Mereka sendiri sudah lama tak saling berhubungan sejak acara lepas-pisah di SMA dulu. Lalu, dalam rangka apa tiba-tiba Kevin menghubunginya?
Tak ingin bergejolak dengan beribu pertanyaan yang mulai menghujani benaknya, Serena segera merapikan barang-barangnya dan keluar dari ruang kerjanya dengan langkah lebar. Sambil sesekali ia melirik benda bulat yang melingkari pergelangan tangannya.
Serena menjejakkan kaki keluar lift tempatnya bekerja. Dan titik matanya langsung jatuh pada bayangan punggung yang sedang membelakanginya, di depan pintu utama. Tiba-tiba ia merasakan debaran jantung yang sudah lama berhasil dikuburnya. Rindu-rindu masa lalu kembali menyelinap pada hatinya.
Ia menarik napas tak kentara. Kemudian berusaha menyapa sosok itu setelah pintu terbuka dan membawa tubuhnya keluar.
“Kevin?”
Sosok itu menolehkan kepala sambil menyunggingkan sebuah senyuman di bibir tipisnya. “Hai, Serena. Apa kabar?” Suara itu masih ramah, sebagaimana sifat Kevin yang Serena kenal dulu. Dan satu hal yang dulu sering kali Seren rindukan saat mengalami cinta pertama yang memabukkan. Serena Wulandari sangat menyukai ketika Kevin tersenyum, karena seolah matanya juga ikut tersenyum. Eyes smile.
“Kabar baik,” kata Serena terdengar canggung pada nada suaranya.
“Apa aku mengejutkanmu?”
Serena memilih menggelengkan kepalanya.
“Jika tidak keberatan, aku ingin mengajakmu makan. Kata mama di dekat sini ada kedai ramen yang enak sekali. Apakah mau mencobanya, Re?”
Bibirnya seolah kaku, Seren masiha takut-takut menatap bola mata yang hampir serupa dengan miliknya. Berulang kali dirinya terus mengingatkan, Kevin adalah masa lalu dan kini ia telah memiliki Yohan. Tapi terkadang hati dan pikiran itu bisa saja tak sejalan.
“Boleh,” jawabnya spontan.
             Aroma café menjadi temannya membisu saat ini. Secangkir Espresso yang dipesannya beberapa jam lalu hampir dingin. Sesekali Yohan memperhatikan ponselnya, barangkali kekasihnya itu segera mengabari di mana keberadaannya sekarang.
Semalam Yohan membuat janji kepada Serena untuk lunch bersama saat jam istirahat kantor. Kekasihnya itu memang tidak menolak, tetapi yang ditunggu juga tak kunjung datang. Bahkan jam istirahat kantor Yohan sendiri hampir habis, beberapa menit lagi. Ia bisa saja dimarahi atasannya apabila terlambat, tapi ia juga tak mau melihat Serena nantinya datang namun dirinya sudah pergi.
Tak lama, sebuah senyum tipis mengukir di bibir tipis pria ini. Ia menyadari kedatangan Serena dari pintu masuk café. Wanitanya itu memang selalu terlihat modis dengan selera fashion-nya yang up to date. “Sudah lama menunggu?” Wanita itu tampak berbasa-basi sambil memenuhi tempat kosong yang sudah di tempati Yohan sedari tadi.
“Apakah pekerjaan kantor menyitamu, Nona?” Kemudian Yohan melambaikan tangan pada seorang barista, berniat memesan makan siang untuk mereka. Kemudian kembali pada Serena lagi.
“Aku harus bertemu dengan Kevin dulu tadi.” Dahi Yohan berkerut dalam, mendengar nama yang tidak familier di telinganya. “O, ya, kau saja yang pesan makanan. Aku sudah makan tadi.”
Yohan terpaksa menelan ludah. Hatinya mencelos mendengar penuturan kekasihnya itu. Ia sendiri tak jadi memasan makanan karena merasakan napsu makannya tiba-tiba menguap. “Kevin sudah kembali?” Di matanya, Serena yang hari ini tak seperti yang ia lihat biasanya. Apakah kehadiran masa lalu itu begitu mempengaruhi Serena yang dikenalnya? Yohan Prayoga sendiri tahu, bahwa gadis yang sudah setahun ini mengisi hatinya masih sedikit banyak mencintai mantannya. Serena tak pernah absen bercercita jika ia sedang merindukan mantannya. Pria seperti Yohan memang tak ingin ambil pusing, dalam hatinya cepat atau lambat Serena pasti akan segera melupakan masa lalunya. Menguburnya dalam-dalam dan menyadari keberadaannya yang sesungguhnya. Lagi pula, saat itu Kevin sendiri tak diketahui kabar dan keberadaannya. Tapi sekarang? Yang dikatakan banyak orang rupanya benar adanya, cinta pertama itu begitu membekas.
“Dia baru pulang dari Jepang tadi malam.”
“Serena,”
“Iya?” Wanita itu sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari layar ponsel dalam genggamannya. Benar saja, tak lain ia sedang berkirim pesan dengan Kevin setelah beberapa saat lalu saling bertukar akun sosial media.
“Aku butuh kejelasanmu.”
Serena mengangkat salah satu alisnya lebih tinggi, kebiasaan yang sering dilakukannya apabila tak mengerti. Ia mengangkat kepala dan menatap lurus-lurus pria di hadapannya.
“Ah, lupakan saja!” sahut Yohan cepat.
             Entakan irama house music masih menggema ketika Serena dan Kevin baru keluar dari sebuah pub malam, yang masih berada di kawasan kota Bandung. Dan saat itulah, Serena yang dalam keadaan setengah mabuk menyadari keberadaan Yohan di parkiran. Rupanya kekasihnya itu begitu mengkwatirkannya, bahkan saat Serena mengatakan dia sedang di pub pria itu segera menyusulnya. Atau memang Yohan tak suka karena meyakini Serena pasti pergi bersama Kevin. Bingo! Dugaan pria ini benar.
“Yohan?” ujar Kevin kaget, menyadari keberadaan teman semasa SMA-nya dulu. Tidak ada yang berubah dari perawakan Yohan, hanya saja ia lebih terlihat dewasa dan berisi. Tak beda jauh darinya.
Mata Yohan menatap sengit kekasih yang kemungkinan sebentar lagi akan menjadi ‘mantan’, juga teman SMA-nya dulu secara bergantian. “Katakan pada mantan kekasihmu ini, bahwa aku tak lagi membutuhkan rasa kasihannya.” Ia menunjuk garang Serena yang kini berada dalam pelukan Kevin. Benar adanya, jika saat ini Yohan sedang tersulut emosi akibat cemburu. Mungkin hubungannya sudah tak bisa diselamatkan lagi. Kesabarannya benar-benar habis. Kekasih mana yang mau diduakan, karena yang dicinta rupanya masih mencintai yang lain.
Kevin membisu dan tidak mengerti.
“Biarkan saja dia, Kevin. Dia cemburu karena kau kembali. Pergi kau! Pergi kau, Pengemis! Aku sudah tak membutuhkanmu lagi!”
Bibir tipis Yohan melengkungkan senyum getir. Ia membalikkan badan dan meninggalkan bayangan punggungnya di malam yang sendu. Rupanya hujan akan turun. Ia benar-benar merasakan pukulan paling keras dalam hidupnya. Merasakan betapa hinanya dia di mata wanita seperti Serena? Ya, gadis itu menerima cintanya karena alasan kasihan. Kasihan akan cintanya juga sekaligus statusnya sebagai orang yang kurang mampu. Padahal selama satu tahun ini lah, Serena yang menjadi semangatnya untuk meraih impiannya. Menjadi orang sukses. Namun, setelah semua diraih, rupanya orang yang dicinta pergi karena kenyataan mengatakan cinta itu sesungguhnya bukan untuknya. Perih.
December, 18-2014
             Kesalahan terbesarku di masa lalu adalah menyalah artikan kata ‘kasihan’. Dan menyia-nyiakan yang terindah diberikan Tuhan.
Pukulan paling telak begitu dirasakan oleh Serena ketika ia mengingat hubungannya dengan Kevin. Mereka memang sempat kembali menjalin hubungan. Namun, kembali kandas akibat sang pria berani mengkhianatinya. Kevin selingkuh dengan seorang wanita yang lebih cantik dan rupanya tak jauh lebih baik dari dirinya. Sayatan luka pada hatinya semakin menganga, ketika mengetahui Kevin telah menghamili wanita itu dan harus segera melangsungkan pernikahan.
Ingin saat itu Serena berlari dan kembali dalam pelukan Yohan? Tapi, nyatanya? Ia tak berani dan benar-benar merasa malu. Jika bisa, ia ingin lubang hitam di luar angkasa menelannya secara bulat-bulat.
Semenjak perpisahan mereka, Yohan memang tidak bersikap buruk padanya malah menganggap tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka berdua. Layaknya teman biasa. Namun tetap saja, Serena merasakan bahwa dia mahluk paling menjijikan di dunia ini dan tak tahu malu. Ia menyesal telah menyia-nyiakan Yohan. Pria setia dan baik hati itu telah bahagia, dengan wanita lain. Dan dari situlah, Serena mendapati pelajaran hidup yang sebenarnya.
Serena yang sudah memasuki usia dua puluh delapan tahun itu pun harus bisa, bersikap dewasa untuk menyikapi ini. Yohan pantas mendapat kebahagiaannya yang sekarang. Ia tampak tersenyum bahagia dengan seorang wanita asli keturunan Jawa di atas pelaminan sana. Mereka tampak serasi.
Serena menarik napas dan kentara mengembuskannya. Perlahan ia berusaha menggerakan kakinya menuju pelaminan. Aluna yang berada di sampingnya tak henti-hentinya memberi semangat, dengan sebuah senyuman di bibirnya.
Saat mata Yohan dan mataa Serena saling bertemu, wanita itu berusaha memberikan senyum termanisnya. Dan dari semua itu ia merasakan, kebahagiaannya benar-benar pantas ia berikan apabila orang yang dicintainya bahagia dengan apa yang menjadi pilihannya.
“Selamat menempuh hidup baru, Yohan Prayoga.” Noktah bening jatuh perlahan dari pelupuk matanya, menelusuri pipinya yang tirus kemudian. Dan lengkungan senyum tak lepas membingkai wajahnya yang oriental.
“Kau pasti akan mendapatkan yang lebih baik dariku, Serena. Suatu hari nanti!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar