source. google |
Desember, 18-2014
Sekali lagi ia mematut diri di depan cermin. Pantulan di dalam
gambarnya membisu, sama halnya dengan orang yang sedang memandangnya. Wajah
oriental dengan sapuan bedak tipis itu tampak semakin pucat. Dan setelan dress
bridesmaid berwarna peach yang membalut tubuhnya terlihat lebih
longgar dari sebelumnya.
Serena
tertunduk. Berharap setelah ini tak ada lagi tumpahan air mata. Bayangan lain
yang terpantul di cermin seolah menangkap kerapuhannya saat ini. Aluna berjalan
mendekat, ia menarik tubuh gadis itu dan satu rengkuhan seorang sahabat
diberikan kepada Serena. Seberapa kuat gadis itu menahan cairan bening itu
untuk tidak keluar, tapi tetap saja … air mata itu akan jatuh walau setitik.
Perih itu semakin deras.
“Kamu bisa, Dear,”
bisik Aluna di telinga Serena. Ia mengusap-usap pelan punggung sahabatnya itu
untuk beberapa saat, lantas melepaskan pelukannya. “Ini hari spesial untuk sang
mempelai pria. Kau tak ingin melihat yang dicinta bahagia?” Aluna menangkupkan
tangannya di pipi gadis itu sambil menghapus jejak air mata yang sempat
menanggalkan perihnya di sana.
‘Tentu
saja, Lun. Aku pasti ingin melihat orang yang pernah singgah di dalam hatiku
itu bahagia. Walau kebahagiaan itu bercerita dengan kenyataan yang berbeda,’ batin
Seren.
Mulutnya
ingin terbuka, tapi tak sanggup. Akhirnya kepala itu hanya bisa mengangguk
gamang. Sebuah senyum menggantung di bibir Aluna. Seolah dia percaya jika
sahabatnya itu bisa. Walau yang ditampakkan tidak sesuai dengan apa yang
dirasakan. Penyesalan itu begitu dalam, tertanam jauh di hati gadis lemah
seperti Serena Wulandari. ‘Aku masih mencintainya dan … mengharapkannya.’
“Yaudah, yuk,
sekarang kita berangkat. Acaranya mau dimulai sebentar lagi.”
Suara lembut
Aluna kembali menyadarkannya. Serena cepat-cepat memoleskan bedak untuk
menutupi kesedihan yang sempat tercipta. Tentu ia tidak berniat menghancurkan
suasana hati sosok itu nantinya. Jika dia bahagia, maka Serena harus bahagia
walau tak ada lagi yang menjadi ‘dia’ di sisinya.
Segera
dikenakannya stiletto beludru cokelat cream bertali pengait.
Dan saat akan mengambil tas yang berada tak jauh dari pandangannya, Serena
sempat kembali mematut pada sebuah undangan berwarna ungu di atas meja rias. Ia
masih ingat kapan terakhir kali membukanya. Seminggu yang lalu terhitung sejak
dia menjelma sebagai sosok paling lemah di dunia ini. Serena menelan ludah.
Segera dijauhkan pandangannya dan menyusul Aluna yang menunggu di depan pintu
kamar.
Honda Jazz
yang dikendarai Aluna berjalan melamban di sebuah perempatan lampu merah.
Sementara menunggu lampu berwarna hijau, gadis dengan penampilan little
white dress itu berusaha menjangkau Serena dari spion depan.
“Kita bisa putar
balik, Re. Kalo memang kamu enggak sanggup.”
“I’m
okay. Don’t worry,” ungkap gadis di jok belakang, lirih. Kemudian ia
tersenyum walau harus susah payah. Mungkin ia akan menjadi gadis paling pengecut
jika tak memberanikan diri hadir dalam acara tersebut.
Mobil pun
kembali bergerak setelah lampu berubah hijau. Aluna membelokkan mobilnya ke
kiri dan berhenti di sebuah gedung besar yang telah disulap menjadi sebuah
tempat resepsi. Jantung Seren tiba-tiba berdebar hebat. Tulang-tulangnya
seperti luruh ke bawah. Ia menghirup napas dari udara sekitar.
“Re?”
“….”
“Re, elo bisa
kan?”
Gadis yang
disebut namanya itu lantas mengangkat kepala, tersenyum kecut pada gadis yang
duduk di jok depan. Setelah mendapatkan sebuah anggukan, Aluna pun keluar dari
mobil disusul oleh Serena.
Tepat di
depan pintu masuk gedung. Sebuah foto pre-wedding dengan latar pantai
kuta Bali berukuran besar menyambut kedatangan mereka. Ini menjadi pukulan
pertama untuk gadis seperti Serena melangkahkan kaki di sini. Hatinya berdesir
hebat.
Masa lalu
terus berjubelan dalam benaknya. Meracau menjadi satu minta diingat. Salah
satunya menyelipkan keinginan agar Serena bisa kembali pada masa lima tahun
lalu.
Desember, 18-2009
Sudah lebih dari pukul delapan malam, Serena masih berkutat dengan
lembaran-lembaran kertas yang berisikan alokasi dana untuk proyek pembangunan
gedung baru, tempatnya bekerja. Sudah banyak dari rekan kerjanya yang pulang,
tapi, tetap saja Serena keras kepala. Ia ingin cepat menyelesaikan
pekerjaannya. Karena setelah itu, wanita berusia dua puluh tiga tahun ini
berniat mengambil cuti panjang demi persiapan pernikahan sepupu kesayangannya
bulan depan.
Tiba-tiba,
ponsel di samping tangannya berdering dan Serena segera menggeser tombol hijau
ke sebelah kanan. Dari Yohan. Pria berusia dua puluh empat tahun itu berstatus
sebagai kekasih Serena Wulandari. Hubungan mereka juga baru seumur jagung.
“Belum pulang
juga? Atau perlu aku jemput?” terang suara berat dari sebrang teleponnya.
“Sebentar
lagi. Tidak perlu, aku bisa pulang sendiri,” jawab Serena, sambil
mencoret-coret kertas demi menghitung dana yang dibutuhkan perusahaan.
Terdengar
Serena mengiyakan sebelum menutup sambungan telepon dari Yohan. Ia menghela
napas kasar. Kali ini, Yohan berpesan agar dirinya pulang tidak sampai larut
malam hanya demi sebuah pekerjaan. Serena sendiri mengakui bahwa kekasihnya itu
begitu perhatian. Tapi, entah kenapa, Serena tak bisa mengartikan bahwa
cintanya benar-benar ia berikan pada pria dewasa itu.
Serena
termangu sejenak, sekedar mengistirahatkan sistem kerja otaknya. Sepasang bola
matanya mengamati petak-petak jendela kaca ruang kerjanya, di mana malam sudah
benar-benar berselimut di langit Bandung. Tak lama, ketenangan singkat wanita
ini sudah harus kembali diusik dengan sebuah dering ponsel yang menandakan
pesan masuk. Dari pengirim tanpa nama.
Seren,
bisa kita ketemu sekarang? Aku sudah menunggumu di bawah.
Mata gadis
itu kontan membulat, dan ia hampir tersedak cairan salivanya sendiri setelah
membaca siapa pengirim pesan tersebut, yang baru ia temukan di akhir
pesan.
Dari Kevin.
“Kevin?”
bibir tipisnya mengulangi hal yang dibaca dalam hatinya. Ya, nama itu memang
tidak asing di memori otaknya.
Kevin
Hendrawan. Dia adalah cinta pertama Serena sekaligus mantan pertamanya, ketika
wanita ini pertama kali masuk SMA. Hubungan mereka kandas setelah Kevin memilih
untuk melanjutkan sekolah di luar Negeri. Sedikit banyak, sampai saat ini Serena
masih mengharapkan hubungannya. Mereka sendiri sudah lama tak saling
berhubungan sejak acara lepas-pisah di SMA dulu. Lalu, dalam rangka apa
tiba-tiba Kevin menghubunginya?
Tak ingin
bergejolak dengan beribu pertanyaan yang mulai menghujani benaknya, Serena
segera merapikan barang-barangnya dan keluar dari ruang kerjanya dengan langkah
lebar. Sambil sesekali ia melirik benda bulat yang melingkari pergelangan
tangannya.
Serena
menjejakkan kaki keluar lift tempatnya bekerja. Dan titik matanya
langsung jatuh pada bayangan punggung yang sedang membelakanginya, di depan
pintu utama. Tiba-tiba ia merasakan debaran jantung yang sudah lama berhasil
dikuburnya. Rindu-rindu masa lalu kembali menyelinap pada hatinya.
Ia menarik
napas tak kentara. Kemudian berusaha menyapa sosok itu setelah pintu terbuka
dan membawa tubuhnya keluar.
“Kevin?”
Sosok itu
menolehkan kepala sambil menyunggingkan sebuah senyuman di bibir tipisnya.
“Hai, Serena. Apa kabar?” Suara itu masih ramah, sebagaimana sifat Kevin yang
Serena kenal dulu. Dan satu hal yang dulu sering kali Seren rindukan saat
mengalami cinta pertama yang memabukkan. Serena Wulandari sangat menyukai
ketika Kevin tersenyum, karena seolah matanya juga ikut tersenyum. Eyes
smile.
“Kabar baik,”
kata Serena terdengar canggung pada nada suaranya.
“Apa aku
mengejutkanmu?”
Serena
memilih menggelengkan kepalanya.
“Jika tidak
keberatan, aku ingin mengajakmu makan. Kata mama di dekat sini ada kedai ramen
yang enak sekali. Apakah mau mencobanya, Re?”
Bibirnya
seolah kaku, Seren masiha takut-takut menatap bola mata yang hampir serupa
dengan miliknya. Berulang kali dirinya terus mengingatkan, Kevin adalah masa
lalu dan kini ia telah memiliki Yohan. Tapi terkadang hati dan pikiran itu bisa
saja tak sejalan.
“Boleh,”
jawabnya spontan.
∞
Aroma café menjadi temannya membisu saat ini. Secangkir Espresso yang
dipesannya beberapa jam lalu hampir dingin. Sesekali Yohan memperhatikan
ponselnya, barangkali kekasihnya itu segera mengabari di mana keberadaannya
sekarang.
Semalam Yohan
membuat janji kepada Serena untuk lunch bersama saat jam istirahat
kantor. Kekasihnya itu memang tidak menolak, tetapi yang ditunggu juga tak
kunjung datang. Bahkan jam istirahat kantor Yohan sendiri hampir habis,
beberapa menit lagi. Ia bisa saja dimarahi atasannya apabila terlambat, tapi ia
juga tak mau melihat Serena nantinya datang namun dirinya sudah pergi.
Tak lama,
sebuah senyum tipis mengukir di bibir tipis pria ini. Ia menyadari kedatangan
Serena dari pintu masuk café. Wanitanya itu memang selalu terlihat modis dengan
selera fashion-nya yang up to date. “Sudah lama menunggu?”
Wanita itu tampak berbasa-basi sambil memenuhi tempat kosong yang sudah di
tempati Yohan sedari tadi.
“Apakah
pekerjaan kantor menyitamu, Nona?” Kemudian Yohan melambaikan tangan pada
seorang barista, berniat memesan makan siang untuk mereka. Kemudian kembali
pada Serena lagi.
“Aku harus
bertemu dengan Kevin dulu tadi.” Dahi Yohan berkerut dalam, mendengar nama yang
tidak familier di telinganya. “O, ya, kau saja yang pesan makanan. Aku sudah
makan tadi.”
Yohan
terpaksa menelan ludah. Hatinya mencelos mendengar penuturan kekasihnya itu. Ia
sendiri tak jadi memasan makanan karena merasakan napsu makannya tiba-tiba
menguap. “Kevin sudah kembali?” Di matanya, Serena yang hari ini tak seperti
yang ia lihat biasanya. Apakah kehadiran masa lalu itu begitu mempengaruhi
Serena yang dikenalnya? Yohan Prayoga sendiri tahu, bahwa gadis yang sudah
setahun ini mengisi hatinya masih sedikit banyak mencintai mantannya. Serena
tak pernah absen bercercita jika ia sedang merindukan mantannya. Pria seperti
Yohan memang tak ingin ambil pusing, dalam hatinya cepat atau lambat Serena
pasti akan segera melupakan masa lalunya. Menguburnya dalam-dalam dan menyadari
keberadaannya yang sesungguhnya. Lagi pula, saat itu Kevin sendiri tak
diketahui kabar dan keberadaannya. Tapi sekarang? Yang dikatakan banyak orang
rupanya benar adanya, cinta pertama itu begitu membekas.
“Dia baru
pulang dari Jepang tadi malam.”
“Serena,”
“Iya?” Wanita
itu sama sekali tak mengalihkan pandangannya dari layar ponsel dalam
genggamannya. Benar saja, tak lain ia sedang berkirim pesan dengan Kevin
setelah beberapa saat lalu saling bertukar akun sosial media.
“Aku butuh
kejelasanmu.”
Serena
mengangkat salah satu alisnya lebih tinggi, kebiasaan yang sering dilakukannya
apabila tak mengerti. Ia mengangkat kepala dan menatap lurus-lurus pria di
hadapannya.
“Ah, lupakan
saja!” sahut Yohan cepat.
∞
Entakan irama house music masih menggema ketika Serena dan Kevin baru
keluar dari sebuah pub malam, yang masih berada di kawasan kota Bandung. Dan
saat itulah, Serena yang dalam keadaan setengah mabuk menyadari keberadaan
Yohan di parkiran. Rupanya kekasihnya itu begitu mengkwatirkannya, bahkan saat
Serena mengatakan dia sedang di pub pria itu segera menyusulnya. Atau memang
Yohan tak suka karena meyakini Serena pasti pergi bersama Kevin. Bingo! Dugaan
pria ini benar.
“Yohan?” ujar
Kevin kaget, menyadari keberadaan teman semasa SMA-nya dulu. Tidak ada yang
berubah dari perawakan Yohan, hanya saja ia lebih terlihat dewasa dan berisi.
Tak beda jauh darinya.
Mata Yohan
menatap sengit kekasih yang kemungkinan sebentar lagi akan menjadi ‘mantan’,
juga teman SMA-nya dulu secara bergantian. “Katakan pada mantan kekasihmu ini,
bahwa aku tak lagi membutuhkan rasa kasihannya.” Ia menunjuk garang Serena yang
kini berada dalam pelukan Kevin. Benar adanya, jika saat ini Yohan sedang
tersulut emosi akibat cemburu. Mungkin hubungannya sudah tak bisa diselamatkan
lagi. Kesabarannya benar-benar habis. Kekasih mana yang mau diduakan, karena
yang dicinta rupanya masih mencintai yang lain.
Kevin membisu
dan tidak mengerti.
“Biarkan saja
dia, Kevin. Dia cemburu karena kau kembali. Pergi kau! Pergi kau, Pengemis! Aku
sudah tak membutuhkanmu lagi!”
Bibir tipis
Yohan melengkungkan senyum getir. Ia membalikkan badan dan meninggalkan
bayangan punggungnya di malam yang sendu. Rupanya hujan akan turun. Ia
benar-benar merasakan pukulan paling keras dalam hidupnya. Merasakan betapa
hinanya dia di mata wanita seperti Serena? Ya, gadis itu menerima cintanya
karena alasan kasihan. Kasihan akan cintanya juga sekaligus statusnya sebagai
orang yang kurang mampu. Padahal selama satu tahun ini lah, Serena yang menjadi
semangatnya untuk meraih impiannya. Menjadi orang sukses. Namun, setelah semua
diraih, rupanya orang yang dicinta pergi karena kenyataan mengatakan cinta itu
sesungguhnya bukan untuknya. Perih.
∞
December, 18-2014
Kesalahan terbesarku di masa lalu adalah menyalah artikan kata
‘kasihan’. Dan menyia-nyiakan yang terindah diberikan Tuhan.
Pukulan
paling telak begitu dirasakan oleh Serena ketika ia mengingat hubungannya
dengan Kevin. Mereka memang sempat kembali menjalin hubungan. Namun, kembali
kandas akibat sang pria berani mengkhianatinya. Kevin selingkuh dengan seorang
wanita yang lebih cantik dan rupanya tak jauh lebih baik dari dirinya. Sayatan
luka pada hatinya semakin menganga, ketika mengetahui Kevin telah menghamili
wanita itu dan harus segera melangsungkan pernikahan.
Ingin saat
itu Serena berlari dan kembali dalam pelukan Yohan? Tapi, nyatanya? Ia tak
berani dan benar-benar merasa malu. Jika bisa, ia ingin lubang hitam di luar
angkasa menelannya secara bulat-bulat.
Semenjak
perpisahan mereka, Yohan memang tidak bersikap buruk padanya malah menganggap
tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka berdua. Layaknya teman biasa.
Namun tetap saja, Serena merasakan bahwa dia mahluk paling menjijikan di dunia
ini dan tak tahu malu. Ia menyesal telah menyia-nyiakan Yohan. Pria setia dan
baik hati itu telah bahagia, dengan wanita lain. Dan dari situlah, Serena
mendapati pelajaran hidup yang sebenarnya.
Serena yang
sudah memasuki usia dua puluh delapan tahun itu pun harus bisa, bersikap dewasa
untuk menyikapi ini. Yohan pantas mendapat kebahagiaannya yang sekarang. Ia
tampak tersenyum bahagia dengan seorang wanita asli keturunan Jawa di atas
pelaminan sana. Mereka tampak serasi.
Serena
menarik napas dan kentara mengembuskannya. Perlahan ia berusaha menggerakan
kakinya menuju pelaminan. Aluna yang berada di sampingnya tak henti-hentinya
memberi semangat, dengan sebuah senyuman di bibirnya.
Saat mata
Yohan dan mataa Serena saling bertemu, wanita itu berusaha memberikan senyum
termanisnya. Dan dari semua itu ia merasakan, kebahagiaannya benar-benar pantas
ia berikan apabila orang yang dicintainya bahagia dengan apa yang menjadi
pilihannya.
“Selamat
menempuh hidup baru, Yohan Prayoga.” Noktah bening jatuh perlahan dari pelupuk
matanya, menelusuri pipinya yang tirus kemudian. Dan lengkungan senyum tak lepas
membingkai wajahnya yang oriental.
“Kau pasti
akan mendapatkan yang lebih baik dariku, Serena. Suatu hari nanti!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar