Jumat, 10 Februari 2017

Rinai Hujan

source. google
Saat keramahan cinta itu tak pernah kutemukan, aku hanya bisa diam. Menanti langit tertawa setelah hujan menemani.
Kalian boleh menyebut ini sebagai obsesi. Tapi bagaimana jika aku menampiknya, dan mengatakan ini lah cinta yang sesungguhnya. Kuhirup napas dunia yang menghambur di sekelilingku. Berusaha menahan rindu di setiap harinya, di antara langit biru yang mulai meniti ulaman kelabu.

Upacara bendera hari senin hampir mencapai acara puncaknya, sorot mataku juga tak lepas dari gerakan baris-berbaris kelompok pengibar bendera. Pakaian putih-putih lengkap dengan topi juga dasi mendominasi di sekelilingku. Tak lain, ini lah murid-murid SMA Negeri 6 Samarinda.

“Hawanya enggak enak,” aku bersuara lirih. Alih-alih memancing Rindu yang kebetulan berdiri di sebelahku. Logisnya, suasana pagi ini memang terlihat kurang bersahabat. Langit terlihat mendung, tapi hawa yang dihantarkan terasa panas dan cukup membuat keringat meretas dari pori-pori kulit.

“Iya nih, langitnya aja mendung, tapi hawanya panas banget. Liatin keringetku.” Rindu menyahut seraya mengipas-ngipaskan kedua tangan di depannya.

Aku hanya mengulum senyum, enggan untuk melanjutkan.

Pengibaran bendera pun dilakukan dengan khidmat. Nyanyian lagu Indonesia Raya bergema di penjuru SMA Negeri 6 Samarinda. Semua menghormati bendera yang mengibar bersama langit yang benar-benar merubah diri menjadi kelabu.

“Tegaaap grak!”

Semua tangan turun secara serempak, mendengar instruksi dari pemimpin upacara. Aku menghela napas pelan. Tiba-tiba. Mata ini seperti menemukan medan magnetnya. Seperti ada atom lain yang mengajakku berinteraksi dengan gaya tarik menarik, agar suatu senyawa diatomik atau poliatomik menjadi stabil.  Ya, aku kembali mengamati singkat sosok yang berada di barisan kelas XII IPA-3. Entah kenapa, aku tak pernah bosan untuk melakukan ini. Dan dari sanalah sumber energi itu berasal. Salah-salah aku hampir saja limbung.

Gadis bodoh mana yang tak pernah bisa menutup matanya karena seseorang yang dicintainya? Ya, itu aku. Gadis bodoh yang sulit menutup matanya meski itu adalah cinta sepihak. Pada sosok itu. Sosok berseragam sama dengan teman prianya yang lain. Sosok tegap dengan bayangan punggungnya yang bersebrangan denganku.

Aku tertunduk pelan. Kalut juga sakit setiap kali mengamatinya. Ada pikiran yang sulit diartikan berkecamuk di otak. Juga luka yang kurasa semakin melebar di sini. Di dalam hati. Tidak tahu siapa yang aku salahkan terhadap luka ini? Yang pasti, semua terjadi sejak aku mencintainya. Yohan Prayoga.

Setelah setengah jam waktu berlalu, upacara pun selesai. Dan akhirnya, langkah kaki ini sampai di sebuah ruangan yang dalam jangka waktu 4 bulan ini akan segera menjadi kenangan. Aku menatap satu per satu teman-temanku. Mendapati senyum mereka saat pandangan kami saling bertumbukan. Kemudian, aku duduk di mejaku yang letaknya berada di barisan kedua paling depan. Rindu sudah duduk terlebih dahulu.

Senyumku mengembang, seolah semua baik-baik saja. Tapi siapa yang tahu, di balik sepasang mata cokelat yang teduh itu tersimpan berjuta lara yang siap mencuat ke permukaan.

Tak lama aku meletakkan pantat di kursi, kini aku sudah kembali mengambil posisi berdiri. Berjinjit-jinjit tak sampai, memperhatikan keadaan di luar kelas melalui jendela yang kebetulan berada tepat di samping mejaku.

“Yohan kah, Ken?” goda Rindu yang membuatku menoleh cepat, sambil kembali duduk.

“Apa sih kamu Rind? Aku enggak mau bahas dia lagi.” Tanganku terlipat sambil bertopang dagu di sana.

“Serius?”

Aku menegakkan punggung. Ada hal yang benar-benar ingin kubicarakan serius pada sahabatku ini. Rindu Azzahrah. Gadis ramah, penuh perhatian, dan mampu membuatku percaya bahwa ia bisa menyimpan rahasia orang dengan baik. Berhubung usia pertemanan kami yang sudah menginjak 6 tahun. Aku mengenalnya sejak duduk di bangku kelas 1 SMP.

“Rind….”

Gadis itu bergumam. Ia sedang mengamati deretan rumus pada sebuah buku kumpulan soal Matematika.

“Kemaren pas hari Jum’at, itu beneran Yohan ngeliatin aku?” Betapa besar kepalanya aku belakangan ini. Tak lain, karena sikap Yohan yang mengundang sebuah harapan untukku lagi. Candaan bersama teman-temannya, juga tatapan mematikan yang sering kutemukan. Aku mengartikan itu sebagai harapan yang ia berikan padaku. Tapi, itu lebih seperti harapan palsu kelihatannya.

“Iya. Dia kemaren ngeliatin kamu kok,” jawab Rindu. Tangannya terlihat membuka lembar halaman buku soal berikutnya.

“Aku enggak tahu jalan pikiran orang itu,” kataku sekenanya.

Tak ada suara dari Rindu.

Aku kembali memancing pembicaraan. “Aku bingung mau ngasih Yohan apa, atau enggak usah aja kali ya?” Entah itu sebuah pertanyaan atau pernyataan yang kulontarkan. Jika itu pertanyaan, sepertinya itu lebih tertuju padaku. Lantas, aku memilih menidurkan kepala di meja, memunggungi Rindu.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Rindu sekarang. Biasanya gadis itu akan berkomentar panjang, setiap kali aku bercerita tentang sakitnya mencintai seseorang yang tak pernah mencintai kita.

Rindu lebih sering terlihat sabagai sosok yang serius dibandingkan denganku. “Aku sih, nggak mau berkomentar, Ken. Kan kamu yang ngejalani.”

Ada kerut di dahiku. “Tapi….”

“Kamu bilang kemaren mau beliin dia jam. Terus, uang yang kemaren susah-susah kamu kumpulin buat apa?”

Kini giliranku yang diam. Tak ada lagi suara yang mampu kukeluarkan. Ruang kelas ini terlalu ramai. Dipenuhi tawa dan canda teman-teman satu kelasku. Tak ada lagi keberanian untuk menyahut ucapan Rindu. Otakku sama sekali tidak bisa bekerja dengan baik hari ini.

Aku memalingkan kepala. Melemparkan sorot mata ke tengah ruang kelas, melihat tawa penuh kebahagiaan milik teman-temanku. Mereka seperti tak ada beban. Ya, beginilah manusia menjalani hidupnya. Di setiap tempat mereka menampilkan topeng yang berbeda.

Setiap hari. Saat di sekolah, Kenzi tak pernah bisa melepaskan identitasnya sebagai gadis periang. Tapi siapa yang tahu, jika kini tak ada tawa di hatiku. Terlalu sulit menemukannya karena sebuah cerita yang kuanggap kelam selama 7 tahun belakangan ini. Hanya saja, wajahku terlalu pintar menyembunyikannya dan terlalu manis bersandiwara di hadapan teman-temanku, dengan sebuah senyum juga tawa.

Tiba-tiba. Kutemukan sebuah siluet yang kerap waktu menyambangi pikiranku dan membawanya ke masa lalu.

Masih menjadi serpihan kecil yang amat sulit untuk kulupakan. Saat gadis berkucir kuda itu harus menelan pahit-pahit kenyataan cintanya ditolak. Tidak begitu jelas dipaparkan penolakan itu, tapi secara pelan dan halus.

“Ken…” panggil Yohan lirih. Tapi aku yang disebutkan namanya itu, memilih diam sambil menggigiti bibir bawah. Takut. Apa yang kutakutkan akan terjadi. Dan terlalu kecil adanya peluang sebuah kebahagiaan untuk kudapatkan.

Ini seperti cerita Princess Belle. Tidak! Tidak! Yang lebih pantas menjadi Princess Belle adalah Yohan, dan aku lebih layak menjadi Pangeran yang buruk rupa. Ya. Karena di sini Yohan lah yang dicintai. Ia pun terlihat lebih sempurna dibandingkan diriku.

“Makasih banyak. Kamu udah mau nyimpen perasaanmu buat aku. Tapi….”

Jantungku benar-benar berlompatan tak karuan. Mencekik hati yang belum bisa menggantikan sosok Yohan. Seringkali aku dibuat menangis karena masa lalu ini. Tapi, aku harus tahu di mana tempat sepantasnya aku menangis.

“Maaf….” Yohan masih terlihat menimang perkataannya di udara.

Saat itu, aku ingin menutup rapat-rapat kedua telingaku (tuli). Kurasa ini memang benar-benar penolakan. Bayangkan saja, Pangeran mana yang mau jatuh cinta pada gadis sepertiku? Naif jika Yohan mengatakan memiliki perasaan yang sama sepertiku. Kurasa, hidup ini benar-benar seperti rinai hujan. Masih banyak mereka yang lebih baik untuk mendapatkan cinta seorang Yohan Prayoga, dibanding diriku. Ironis.

Hatiku benar-benar mencelos. Setelah beberapa detik lalu menemukan senyum nista di wajah polos itu. Ingin sekali aku berteriak sebelum pada akhirnya Yohan menyelesaikan perkataannya. “…aku … belum bisa suka sama kamu.”

Seperti ada ribuan jarum yang menghujani tubuhku. Kejadian 3 tahun lalu benar-benar membuat langitku terasa runtuh. Pertahananku sebagai gadis yang menjaga harga diri sudah kukorbankan, namun nyatanya? Akhirnya akan begini kan.

“Ken, udahlah!” Suara itu kembali menarikku dari gelapnya asa masa lalu.

Aku mengangkat kepala, menatap Rindu yang mengulum senyum padaku.

“Aku tahu kok, kamu pasti bisa milih yang terbaik buat diri kamu. Aku selalu dukung kamu.” Ia mengusap punggungku lembut. Rindu benar-benar seorang sahabat yang tak bisa digambarkan bagaimana kebaikannya. Aku beruntung, karena Tuhan mengizinkanku bertemu dan mengenal Rindu.

Aku mengangguk pelan, menanggapi perkataan Rindu. Tadi, sempat ada noktah bening yang jatuh di sudut mataku. Kuharap, Rindu tak melihat itu.


Malam bergelung langit kelabu, menyembunyikan rona dewi bulan yang sempat mengintip dari tirai berwarna putih jendela kamarku. Senyap menguar bersama bau rinai hujan. Mendekap tubuh ringkihku yang kini jiwanya membayang jauh.

Aku masih bertahan dengan posisiku—berdiri menghadap jendela. Tangan kananku meremas kuat sebuah bingkai foto yang sewaktu-waktu bisa saja kulemparkan keluar. Tak lain, karena kesakitan dalam hati yang selama 7 tahun ini kutahan.

Pelik. Bagaimana caraku untuk menceritakannya? Perlu keberanian khusus untuk membuka mata di setiap perjalananku. Mencintai Yohan. Bahkan aku tak bisa memperkirakan, jika 18 Desember sudah berada di depan mata.

Cerita ini. Luka ini. Semua berawal saat aku mengenal seorang Yohan Prayoga di kelas 6 SD. Aku yang waktu itu hanyalah gadis belia, yang bisa dibilang masih bau kencur. Dibuat terpikat dengan seorang pria yang usianya terpaut jauh satu tahun dariku. Ia mengenakan seragam merah putihnya—sama sepertiku waktu itu. Rambutnya dibelah pinggir, kulitnya sawo matang, dan ia memiliki bibir yang tipis. Aku paling suka saat melihatnya tertawa lebar, karena matanya mampu ikut tersenyum. Eyes smile.

Hidup memang berlatar belakangkan akan masa lalu. Tapi entah kenapa, cerita saat duduk di bangku sekolah dasar, aku jarang sekali mau membuka atau menceritakannya.
Aku hanya bisa menutup mata dan telingaku waktu itu. Mengakui jika aku benar-benar bukan gadis sempurna.

Saat duduk di bangku sekolah dasar, sering kali teman laki-laki di kelasku tak segan untuk mengejek. Kebaikan Yohan dan sikapnya yang berbeda dari kebanyakan teman-temanku. Itu yang membuat benih-benih cinta di hati gadis belia sepertiku tumbuh.

“Rand, jangan ngolok gitu dong! Masih baik Kenzi mau ngasih contekan tugasnya ke kamu,” sela Yohan saat salah seorang teman priaku yang lain mulai mengejek. Padahal pria dengan nama Randy itu sudah janji tak akan mengejekku setelah mendapatkan contekan. Tapi nyatanya? Ia masih mengejek.

Dan aku masih mengingat itu. Yohan membelaku.

Aku yakin, saat itu bumi masih berputar pada porosnya. Semua masih berlanjut hingga aku harus mereggang pertemananku sendiri. Yohan yang waktu itu kukenal baik dan selalu mengajakku berbicara. Perlahan, bayangnya benar-benar pergi. Aku akui ini salahku. Semuanya.

Mulut ini benar-benar tak bisa kujaga. Sebagai gadis belia yang baru merasakan cinta pertamanya, aku menceritakan semuanya pada teman-temanku. Pahitnya, mereka tak bisa menjaga mulut. Membuat apa yang kuceritakan tentang perasaanku sampai ke telinga teman-temanku yang lain. Ironis.

Aku merasa, waktu itu Yohan benar-benar terlecehkan karena perilakuku yang keterlaluan. Ya, tidak seharusnya aku mengatakan itu pada teman-temanku yang tak bisa menjaga mulutnya. Semenjak saat itu, Yohan menghindariku. Alih-alih ia juga pindah tempat duduk. Malu karena teman-teman sering mengejeknya. Karena aku.

“Aku mau nerima kado dari yang lain. Tapi, aku enggak mau kado dari Kenzi.”

Ini terjadi saat ulang tahun Yohan. Masih melekat kuat di ingatakanku, mengenai perkataan itu. Betapa pelik dan hancurnya aku saat itu. 7 tahun lalu. Aku hanya bisa diam dan tercenung sambil mengamati kado yang akan kuberikan pada Yohan. Yah, mau bagaimana lagi, ini lah yang harus kutanggung kan.

Aku hanyalah seorang gadis polos. Bukan seseorang yang pintar sekali bergaul. Hingga duduk di bangku SMP, aku masih menyimpan perasaan itu. Memiliki banyak teman baru memang menyenangkan. Dan yang seperti harus kutahu, banyak murid perempuan yang berlomba untuk mencuri perhatian Yohan.

Bahkan, gadis yang mengatakan bahwa dia adalah sahabatku, berani berpacaran dengan Yohan. Aku tidak tahu bagaimana kronologi itu semua bisa terjadi. Hubungan itu tidak sampai sehari, sahabatku sudah meminta putus pada Yohan.

Ini bisa disebut sebagai pembodohan cinta. Bagaimana bisa? Mengharapkan untuk memiliki perasaan orang yang kucintai, sedangkan jelas-jelas ia tak pernah mencintaiku. Cintaku pada Yohan masih bertahan hingga duduk di kelas XII SMA. Hingga sekarang. Dan, pertemenanan yang sering kuirikan dari teman-temanku itu, tak lagi terjalin.

“Ken,”

Aku mengusap cepat lelehan air mataku. Lantas memutar tubuh—merasa terpanggil, setelah beberapa menit lalu memilih mematut diri di depan jendela yang telah bermandikan rinai hujan. Juga mematut masa lalu lebih tepatnya. Bibirku mengulum senyum pada pemilik suara tadi.

“Kamu belum pulang?” tanyaku.

“Tadi aku disuruh nemeni ibu ke supermarket. Kebetulan aku bawa motor, jadi dia minta anterin aku.
Aku mengangguk.

“Besok…” lanjut Rindu ragu.

Masih ada senyum yang terukir. Meski aku yakin, Rindu tahu hati sahabatnya ini tak sekuat senyum di bibirnya.

“Sepulang dari sekolah temani aku mampir ke toko kue ya, Rind.” Aku menyahut.

“Ken, kamu serius buat ini?”

“Enggak apa-apa, ini untuk yang terakhir ‘kan?” ucapku sambil meletakkan kembali bingkai foto di atas meja rias.

Rindu berjalan mendekat ke arahku. Setelah tadi hanya memilih berdiri di ambang pintu kamar. Tangannya terangkat, sekedar untuk mengusap pundakku. Sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga. Sepandai-pandainya aku menutupi lukaku, Rindu terlalu pintar untuk mengartikannya.

Rindu mengambil bingkai foto yang tadi kuletakkan. Kemudian, memandangi sekelompok anak manusia berseragam merah putih sambil tersenyum di dalam foto. Tentunya, di situ ada Yohan dan aku. “Aku harap, lulus SMA nanti kamu bener-bener bisa ngelupain dia. Bisa dapet yang lebih baik, Ken.”

Aku tercenung. Lebih baik? Cepat-cepat otak ini berputar pada kejadian hari Kamis lalu. Tentang seorang siswi kelas XII-IPA 1 yang tak sengaja mencurahkan isi hatinya. Itu aku.

“Biarkan perasaanmu itu mengalir. Jadikan dia sebagai motivasi, supaya kamu bisa menjadi yang lebih baik,” ucap seorang guru Bahasa Indonesia. Ibu Siti Chasijati namanya.

Aku mengangguk mendengarkan setiap nasihat beliau. Tak lain, ini terjadi karena ejekan Rindu yang akhirnya berujung pada curhat tak sengaja.

“Cinta bertepuk sebelah tangan itu wajar. Jika dia bukan jodohmu, ikutin aja kemana arus air itu mengalir. Nantinya, kamu pasti dapat yang lebih baik. Dunia itu luas. Orang yang berpikir mengalir, pasti mengakui dunia itu luas.”

Sejak saat itu lah, ucapan beliau menjadi motivasi buatku. Saat terpuruk karena perasaanku yang masih bertahan terhadap Yohan. Jika detik ini aku mengatakan, ‘aku sudah tak memiliki perasaan lagi pada Yohan’. Itu naif.


Langit menumpahkan isi hati penuh kesedihannya sore itu. Aku berlari di antara derasnya hujan yang mengguyur permukaan bumi. Pakaianku sedikit basah sesampainya di depan sebuah toko kue. Hari ini, Rindu tak bisa menemaniku untuk membeli kue ulang tahun. Ia bilang, ibunya sedang manja—minta ditemani shopping. Tapi, Rindu akan segera datang untuk memberikan kue pada Yohan. Aku tak mungkin memberikan ini sendiri.

Aku mengamati beberapa kue cokelat yang dipajang di etalase. Sedikit bingung untuk memilih. Lama menimang, akhirnya pilihanku jatuh pada kue cokelat berpoleskan white cream di sisi-sisinya.

“Mau dikasih tulisan apa, Mbak?”

Aku berpikir sejenak. “Happy birthday to Yohan Prayoga,” kataku kemudian.

Selang beberapa waktu. “Total semuanya seratus ribu, ya, Mbak.” Wanita paruh baya itu lantas menyodorkan kue yang sudah terbungkus, lengkap dengan lilin yang tadi kupilih.

Segera kulangkahkan kaki keluar toko kue. Tak sabar untuk merayakan ulang tahun Yohan hari ini. Dengan sebuah payung berwarna pelangi; merah, kuning, hijau, nila, ungu, biru. Aku kembali menyusuri jalanan yang basah karena hujan. Tidak buruk untuk berjalan kaki menuju rumah Yohan. Letaknya tidak jauh dari sini, hanya beberapa kilometer.

Tiba-tiba. Garis takdir kembali berpikir tak sejalan denganku. Hingga kejadian yang tak pernah kubayangkan itu terjadi. Mungkin karena terlalu memikirkan hal yang tidak-tidak tentang Yohan. Aku terjerambab ke kubangan air. Kue yang kubawa terlempar dan berhamburan di bawah rinai hujan. Bajuku ikut kotor karena lumpur.

“Arghhh!” Aku menggeram. Sial! Benar-benar sial. Dengan apa lagi aku harus membeli? Padahal, dalam jangka waktu sebulan aku bersusah payah mengumpulkan uang itu, hanya untuk membeli kue.
Aku hampir menangis. Tetapi tertahan dengan suara dering dari ponselku. Aku segera menggeser layarnya. Mengetahui sebuah panggilan dari Rindu.

“Hallo Ken, kamu di mana?” tanya suara lembut dari sebrang.

“Masih di jalan. Ada apa?”

“Aku udah di depan rumah Yohan, nih. Aku saranin, kamu enggak usah datang aja, Ken.”

Aku mengangkat salah satu alisku lebih tinggi. “Kenapa?”

“Enggak usah aja deh.”

“Rindu….” Aku menahan perkataanku. Ucapan Rindu membuat penasaran yang menggebu-gebu. Segera aku berdiri dari dudukku, mengambil cepat sebuah payung yang tadi ikut berhamburan ke jalanan. “Kam-kamu tunggu aku. Jangan kemana-mana Rind!” Napasku memburu bersama langkah kecil berlompatan, sedikit berlari membelah di antara rintikan hujan.


Sebuah tangan meremas pelan pundakku. Ya, itu tangan Rindu. Sepertinya, tadi lebih baik aku mengikuti saran dari sahabatku itu. Air mataku jatuh, tapi tak akan pernah terlihat karena hujan yang mengguyur tubuh. Kini, Rindu sama basahnya denganku.

“Sabar Ken,” ucap Rindu sambil tertunduk.

Oh, baiklah! Ini memang menyakitkan. Dari jarak yang cukup jauh dari rumah Yohan, aku bisa melihat betapa bahagianya pria itu memeluk seorang gadis yang tadi membawakan kue untuknya.
Gadis itu? Aku mengenalnya. Aku rasa, dia memang lebih pantas untuk memiliki Yohan. Dia cantik dan yang kudengar dia adalah gadis yang pintar. Semua berakhir.

Tangan Rindu mengusap-usap lengan tangaku. Ingin rasanya aku menumpahkan seluruh isi hatiku ke dalam pelukan sahabatku. Sekarang juga.

“Sudahlah, Ken. Jadikan ulang tahun ke tujuh belasnya kemaren adalah yang terakhir. Kurasa, ulang tahunnnya yang ke delapan belas sudah enggak lagi diperuntukan buat kamu.”

Aku mengangkat kepala. Itu sakit Rindu. Setiap tahun, sejak 4 tahun belakangan ini aku tak pernah absen untuk memberi kejutan pada Yohan. Tapi, sepertinya tahun ini memang benar-benar bukan diperuntukkan untukku.

“Aku mau pulang,” kataku lantas berjalan mendahului.

“Ken…!” Suara Rindu mengejar. “Nanti kamu bisa sakit.” Ia memayungiku dengan sebuah payung yang tadi sempat kubuang. Kini, hanya sahabat yang kupunya. Masih ada kah motivasiku setelah ini? Masih ada kah inspirasiku menulis setelah ini? Yohan. Semua itu tak lain berasal dari dirimu.

“Aku yakin kamu pasti bisa dapetin yang lebih baik dari dia. Hanya saja, tidak untuk saat ini. Tuhan masih menyimpannya.” Rindu menarik napas sejenak. Melangkah beriringan denganku. “Kapan hujan akan berhenti? Jika Kenzi tak kunjung percaya pada dirinya sendiri. Aku tahu, kamu bisa.”

Aku tersenyum getir.

Beberapa hari yang lalu, aku memang mendengar dari teman-temanku jika Yohan sedang mendekati seorang adik kelas kami. Aku tak pernah percaya dan hanya mengganggap itu hanyalah angin lalu. Aku selalu menaruh percaya diri. Tatapan yang sering diperlihatkan oleh Yohan menandakan ia sudah belajar mencitaiku.

Aku memang benar-benar gadis yang keras kepala. Mataku menatap sendu buliran yang bergantian jatuh dari langit. Hujan. Kapan bisa kutemukan pelangi setelah hujan terus mengguyur hatiku? Tapi, biarkan hujan yang menghapus jalan cerita ini.

“Aku enggak mau langit kehilangan kilaunya. Dan, aku enggak mau sahabat kayak kamu kehilangan jati dirinya hanya karena pria seperti Yohan. Masih ada aku di sini, Ken.” Aku melirik pada sahabatku itu. Aku selalu percaya apa yang dikatakan Rindu. Aku harus tetap melangkah. Aku pun menjawabnya dengan mengangguk, meski berat untuk tersenyum.

Biar itu sulit. Aku akan berusaha untuk melupakannya. Melupakan perasaanku terhadap Yohan, dan menerima bahwa pria itu bukanlah ditakdirkan untukku.

“Aku tidak tahu seberapa berharaganya dirimu untukku. Aku mempertanyakan hal ini sampai 7 tahun lamanya, lebih tepatnya pada detik terakhir aku bernapas saat ini. Hatiku meminta dan aku ingin merasakan seperti yang lainnya pernah rasakan. Kebahagian akan cinta. Meski nyatanya, aku tidak tahu apa itu Cinta? Dan kebenarannya? 

“Bertahun-tahun aku mencintaimu. Dan, kau tahu sendiri bagaimana perasaanmu terhadap seorang gadis sepertiku. Tebak saja cerita princess Belle dengan seorang pangeran buruk rupa itu, sebelum akhirnya Belle jatuh cinta terhadap pangeran buruk rupa. Akan tetapi, kau yang lebih pantas dijadikan sebagai princess Belle karena kau yang dicintai. 

“Sayangnya, cerita itu memiliki ending yang indah dan romantis. Tidak dengan ceritaku, semua seperti mengambang di udara, lenyap dalam selimut kabut gelapnya cinta sepihak.

“Aku hanya ingin, kau menghapus semua laraku sebagai gadis, yah, yang memang tak sepantasnya mencintaimu. Bagiku, banyak hal yang kudapat dari aku mengenalmu. Semangat, kerja keras, semua hal yang menginspirasi datang dari bayang cintamu. Dan, jika kau tahu, banyak mimpi yang kuraih karena semangat yang setiap kali datang dari cinta semu darimu.

“Dan inilah, akhir ceritaku yang membisu. Dihapus oleh rinai hujan di pertengahan Desember. Terimakasih Yohan, kau mengizinkanku untuk menyimpan perasaan ini dalam dinginnya sikapmu.”

Selesai

Awalnya cerita ini hanyalah akan menjadi tugas Bahasa Indonesia di sekolah saat duduk di bangku SMA. Sekaligus pendedikasianku terhadap seseorang yang kucintai selama ini.  Tidak keseluruhan non-fiksi, aku juga menggabungkannya dengan fiksi. Menggambarkan apa yang seolah-olah kubayangkan dan rasakan.

Dan yang tak pernah kuduga adalah; ending cerita ini menjadi kenyataan di hidupku.

source. google
 'Suatu hari... aku pergi untuk yang lain.'

Tidak ada komentar:

Posting Komentar