cr. google |
Segurat senyum singkat tertangkap dari retina mataku, senyum manis yang setiap kali mampu membuat sosok sepertiku terbius. Kaki-kaki di bawah sana bergerak lincah, menggiring bola dan tampak susah payah mencari mana kawan dan lawan. Selang beberapa menit, setelah perebutan bola yang sengit, seseorang baru saja mencetak gol yang seakan-akan menjadi kepuasaan tersendiri untuk dirinya.
Yohan Prayoga, nama pria itu. Dia dari kelas XI IPA 2. Dia memiliki senyum yang cukup berarti bagiku. Aku suka melihatnya, karena saat ia tersenyum matanya akan ikut tersenyum. Eyes smile.
Tangan-tanganku bersembunyi di balik saku blazer yang melapisi seragam sekolah. Anak rambutku dipermainkan oleh angina yang bertiup di siang hari. Ini Juni, dan aku merindukan saat-saat ini. Tahun ajaran baru. Saat aku mengenal apa itu cinta dari pria seperti dirinya. Dari dirinya lah aku mulai mengawali sebuah rasa yang biasanya dialami gadis remaja; cinta pertama.
Memandangnya dari jauh seperti ini, layaknya menatap bintang di setiap malam yang tidak tahu bagaimana cara untuk menggapainya.
Aku memilih untuk berjalan menjauh meninggalkan lapangan, membiarkan penakluk hatiku itu bersenang-senang dengan permainan kesukaannya; sepak bola. Aku kembali berjalan menyusuri lorong kelas, menatap ujung-unjung sepatuku lantas kembali menatap ke depan.
Pandanganku jatuh, tepat pada sosok yang bersadar di salah satu pilar penyangga lorong sekolah. Seorang gadis bertubuh semampai dengan kulit sawo matang yang manis, potongan rambut sebahu yang membuat kesan tomboy pada dirinya. Arah mata gadis itu tak lain pada sebuah lapangan yang ada di bawah sana, tebak, aku tahu apa yang kini sedang menjadi perhatiannya.
Aku tersenyum masam. Kakiku memilih untuk kembali melangkah, meninggalkan gadis yang kurasa sangat terpesona dengan pemilik permainan sepak bola di bawah sana. Sebenarnya ada yang kurasakan, layaknya hati bergejolak dan tercabik. Kecemburuan? Sedikit. Tapi, bukan sewajarnya itu aku rasakan, aku bukan siapa-siapa dari seseorang pemilik permainan indah sepak bola di bawah sana. Tujuh tahun cintaku hanya sepihak. Aku harus sadar akan hal itu.
Pria tadi memang bukan seorang anggota OSIS yang bisa jadi populer seenaknya. Dia layaknya murid-murid yang lain di sekolah ini. Hanya saja, ketampanan dengan kulit sawo matang memberi kesan manis untuk seseorang seperti dirinya. Dan itu alasan, membuat orang sepertinya mudah sekali menjadi populer.
Bahkan, aku sempat mendengar. Para murid baru perempuan dari kelas 10, sudah banyak dari mereka yang mengagguminya. Memang pesona seperti dirinya tidak bisa dipertanyakan lagi. Dan jangan ditanya, sedari tadi pikiranku tidak pernah bisa lepas dari sosok pria itu lantaran memang beginikan rasanya terhadap seseorang yang menjadi cinta pertama kita. Seseorang yang seketika membuat kita lupa siapa kita sebenarnya.
Tak kurasakan jika kini retinaku telah sampai di sebuah danau berukuran sedang yang ada di taman tak jauh dari sekolah, bisa ditebak sepanjang perjalanan menuju kemari aku hanya memikirkan pria itu. Lalu, aku memilih duduk di salah satu kursi taman yang kosong, menyandarkan punggung lantas mengembuskan napas pelan.
Aku menyipitkan mata, setelah sebelumnya aku mengambil sebuah novel—Secret Garden––hadiah ulang tahun dari salah seorang sahabatku dari dalam tas.
Dari kejauahan, ada seorang gadis berkulit putih tengah menuju ke sini. Dan benar dugaanku, bukan senyum manis yang aku dapatkan melainkan seringaian mengerikan dari gadis yang bisa aku sebut adalah seniorku.
“Hari ini aku melihat Yohan bermain bola dengan sangat bagus, dia begitu terlihat sangat tampan saat angin menghambur di sekelilingnya.”
Layaknya tamu tak diundang, gadis itu duduk di sebelahku lantas bercerita seperti itu tanpa siapapun yang memintanya. Aku memilih diam untuk tidak menanggapi dan lebih terfokus pada bacaanku.
“Apa kau tidak melihatnya? Sayang sekali kalau begitu.”
Aku mampu melihat seringaian mengerikan itu lagi dari ekor mataku. Oh, Tuhan bahkan aku lebih ingin melihat seorang nenek lampir dari pada gadis sepertinya. Berhubung dia seorang senior, oke, aku akan sedikit menghargai itu.
“Sudah, Kak Za?” kataku dengan nada meledek.
“Kau tidak cemburu? Malah aku sempat memberikan perhatian pada Yohan––membawakannya air mineral.”
“Tidak.” Boleh aku pergi sekarang? Dari sekian banyak gadis yang mengidolakan pria itu, aku masih mampu menerimanya tapi tidak untuk yang satu ini. Jika aku di suruh memilih, aku merelekan Yohan dengan gadis mana pun asal jangan dengan yang ini.
“Eh, Ken! Belagu banget sih jadi adek kelas!”
Kali ini bukan aku yang menyulut emosinya, melainkan dia yang ingin membuatku cemburu begitu? Sayangnya, cemburu adalah hal yang paling aku tutupi dan aku memilih memendamnya dalam tawa dan senyumku.
“Maaf, Kak Za. Aku butuh konsentrasi untuk membaca, masih banyak kok hal yang lebih bermanfaat untuk Kakak kerjakan.”
“Yohan…!” teriaknya tiba-tiba.
Oh, sial! Argh, bukan urusanku. Dan kali ini, mataku benar-benar tidak salah lihat, jika Yohan memang tengah berada di taman yang sama denganku.
Tapi, tunggu! Gadis yang kulihat bersandar di pilar tadi juga sedang berada di sini. Ada hal aneh yang tertangkap dari mataku. Sebilah pisau. Untuk apa? Aku melihat Yohan dan kakak kelas yang menyebalkan tadi secara bergantian. Lalu kembali pada gadis tadi. Apa ini? Salah satu dari kedua orang yang menjadi pusat perhatianku sekarang adalah tujuan dari sebilah pisau milik gadis berkulit sawo matang itu.
Setelahh lama mencerna, aku segera meletakkan novelku dan meninggalkan tasku begitu saja. Aku berusaha berlari secepat gerakan pisau itu, dan berusaha menolong ‘dia’ yang menjadi tujuan pisau itu sendiri. Oke, silahkan sebut aku pahlawan kesiangan di bulan Juni. Tapi, mau bagaimana pun, apa pun itu, berkaitan dengan seorang Yohan Prayoga maka aku tidak segan merelakan nyawaku sekali pun.
“Kak Za, awas…!”
Argh! Dan aku benar-benar merasakannya, sebuah pisau yang menggores telapak tanganku. Bau anyir darah sempat menyeruak ke indra penciumanku. Aku meneguk paksa salivaku, dan ini kali pertama aku merasakan dua hal yang aku takuti, benar-benar melukaiku parah dan keluar lebih banyak dari apa yang biasa aku takutkan. Aku takut dengan benda tajam, juga cairan berwarna merah yang disebut darah.
“Kenzi….”
Ya, aku dengar suara itu. Suara dari seseorang yang sangat aku cintai. Seseorang yang selalu aku rindukan senyum dan tawa manisnya, bahkan aku masih ingat betul, kemarin, saat Tuhan memberiku kesempatan lebih banyak untuk memandangi wajah itu. Wajah yang selalu menenangkanku, membuat segala hal yang ada pada diriku terasa hidup.
Tapi, aku tidak tahu kelanjutannya setelah ini. Aku hanya sekilas mendengar suara itu, dan wajah tampan yang seketika membuat sekujur tubuhku dingin, perlahan memburam dan semua lenyap tertelan gulita gelap tak terbaca.
Sebelumnya, aku melakukan itu––menolong––karena aku menyanyangi mereka yang sangat menyayangi seorang ‘Yohan’. Sekalipun, mereka sering membully atau merendahkanku, aku menghargai mereka, karena mereka memiliki perasaan pada seseorang yang juga kucintai. Cinta sepihakku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar