source. google |
Dunia selalu bercerita. Ada yang namanya pagi; ketika matahari mulai
menabirkan surya dari ufuk timur. Dan ada juga yang namanya senja;
ketika matahari menggiring warna tuanya kembali dalam dekapan. Helaan
napasku masih sama. Bibir yang terkulum menampakkan senyum yang tak
berubah. Cerita itu pun tetap bergerak di atas alur yang sama. Prolog,
klimaks, akan tetapi akhir ceritanya tak pernah kutemukan.
Udara bergerak yang bertiup di sekitar sama sekali tidak berani
menggangguku, yang sedang berusaha untuk tidak menjangkaumu melalui iris
mata. Kurasa terlalu sulit melakukannya. Rahang tegas itu, eyes smile yang
kau miliki, kulit sawo matang, badan ideal, pun potongan rambut belah
pinggir. Sama sekali tidak pernah terpikir, jika bayanganmu hanya
menjadi semu di sini. Di dalam hatiku. Tak pernah kurengkuh, tak pernah
kugapai, dan tak pernah kuamati begitu dekat. Bak menggenggam angin
untuk sekedar memilikimu selama ini.
Seandainya. Rasa ini tak pernah ada. Sedikit banyak hal yang pasti
tidak akan terjadi di masa ini. Kekaguman itu tak akan pernah tumbuh.
Luka itu pun tidak akan pernah hadir. Juga, mungkin keegoisan itu tak
akan pernah menggerogoti sebuah tali silaturahmi. Ketika semua hanya
tersisa dalam berandai-andai. Memimpikan tersenyum bersama dalam ikatan
pertemanan pun percuma. Maaf, aku yang menghancurkannya.
Awalnya aku tak pernah mengenal atau sekedar mengetahuimu, meski kita
selalu berada dalam ruang yang sama. Tapi, waktu bercerita untuk
menghadirkan sebuah kisah yang tidak bisa ditebak oleh manusia normal
sekali pun. Tiba-tiba. Aku yang mengenalmu. Aku yang mencintaimu. Aku
yang menyayangimu dan begitu aku yang menganggumimu. Terkesan begitu
gila, juga lingkungan yang begitu mendorongku. Bahkan, tak pernah
membuka mata, takut, karena kenyataan telah berulang kali menamparku.
Sekarang? Sama atau tidaknya, pun aku tidak tahu. Daun itu masih
berusaha untuk tetap menggantung, meski warnanya telah berubah dan
berulang kali pohon telah mengabaikannya. Pun angin yang berulang kali
berusaha menerbangkannya. Pernahkah atau sempatkah? Kau menengok pada
hati ini. Tujuh itu angka yang cukup besar. Dan waktu yang cukup lama.
Sedikit saja, kau lirik bagaimana air mata itu jatuh menanggalkan
lukanya. Serta mimpi-mimpi yang tak pernah terganti oleh hadirmu.
“Aku memang tidak sesumpurna wanita di luar sana. Namun begitu, aku menyayangimu dan ingin selalu membuatmu bahagia.” Aku berujar.
Dan ini jawabmu. Tidak ada lagi kelanjutan kalimat dari bibir tipismu. “Tapi, maaf… aku belum bisa suka sama kamu.”
Menggantung seketika di udara, sedikit banyak membuatku sulit
menebak-nebak bagian akhir ceritanya. Oh, benar saja! Hahaha, aku
tersenyum kecut. Hal tersebut benar-benar sebuah penolakan yang begitu
lembut. Ya! Aku egois. Benar-benar cukup egois, dan cukup gila pada
cinta ini.
Mau bagaimana pun, takdir bercerita agar daun mau meninggalkan pohon.
Berat? Sulit? Tidak rela? Padahal waktu menawarkan langit biru,
rerumputan hijau, juga angin yang sejuk pada daun dibandingkan pohon
yang telah mengacuhkannya.
Terlalu indah. Begitu indah untuk dikulum juga disimpan sebuah cerita
yang dimiliki si daun. Meski berulang kali aku harus menjilat ludahku
sendiri.
Yang tak pernah kutahu adalah; takdir itu adil. Sama sekali tidak
membiarkan diriku tenggelam dan tercekik begitu dalam dengan cinta dan
luka yang kukenal secara bersamaan. Masih ada kesempatan untukku
mencicipi sebuah fananya kebahagiaan dunia. Memandangi punggung bidang
itu, bahkan sempat memeluknya tidak sampai hitungan satu detik. Dan semu
merah itu akan menjadi serpihan terindah dalam sebuah cerita cinta
sepihak.
Lalu pada akhirnya, perpisahan menjadi pilihan lain dari sebuah akhir
cerita yang begitu indah. Juga cerita cinta ini terlalu manis untuk
dilantunkan dalam sebuah lagu, yang pernah kauiringi saat aku
menyanyikannya.
Betapa berat perjuangan cintaku,
untuk mendapatkan hati seseorang yang kusayang
Menguras emosi dan juga air mata, apakah mungkin semua itu kan berakhir
Ragaku bagaikan tak bernyawa,
hanya karena memikirkan dirimu sayang…
Kepedihan mendalam yang kurasakan, karena kenyataan pahit yang kuterima
Kutaksanggup untuk mersakan, semua kepedihan yang ada dihati…
Reff :
Pupus sudah semua harapan, kuselama ini untuk memilikimu…
Derai air mata menyertai langkahku
Untuk merelakan kepergian dirimu kasih…
Cahaya bulan seolah redup, melihat kegundahan di hatiku
Bintang-bintang dilangit bergugurann, mengikuti tetesan air mataku…
Kutaksanggup untuk merasakan semua kepedihan yang ada di hati..
(By; Abd. Rahmat)
Kini, perpisahan itu benar-benar ada. Kau dengan jalan ceritamu, dan
aku… dengan jalan ceritaku sendiri. Aku senang, ketika sang waktu
mengizinkanku untuk mengenalmu… mencintaimu dan berusaha untuk
menghapuskanmu. Meski banyak rasa kecewa, menyesal, dan tersakiti
lainnya. Tapi, tidak semuanya karenamu, selebihnya adalah egoisku.
Matahari itu belum tenggelam, di mana masih ada kesempatan untukku
menemukan cerita lainnya. Yang mungkin lebih indah dari ini. Udara yang
bergerak tetap setia menemani. Kenangan pun akan terukir seiringnya
waktu. Banyak hal yang menjadi warna.
Terimakasih karena kamu masih mau memperlihatkan senyum perpisahan
itu, dengan begitu manis di sana. Aku dan Kamu. Terimakasih telah
menghadirkan cinta yang tak pernah kau minta.
Samarinda, 21-April-2014; 08.37 am.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar