cr. google |
Waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Kentara dari bau embun yang masih menguar. Langkah-langkah pendek setengah berlari berpantulan di lorong SMA Negeri 6 Samarinda. Ini sudah memasuki jam pertama pelajaran, tapi guru Matematika Kenzi belum juga masuk kelas.
Kenzi yang memiliki tinggi 156 sentimeter, hanya bisa berjinjit-jinjit di jendela—memastikan keadaan di luar. Sepi. Murid kelas XII lainnya sudah masuk ke kelas mereka masing-masing.
“Enggak ada bapaknya, kah?” tanya suara dari balik tubuh Kenzi.
“Belom,” jawab Kenzi lalu duduk di kursinya—bersebelahan dengan asal suara tadi.
Aira hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu. Tidak hanya untuk kali ini, Aira menangkap basah Kenzi mengintip-ngintip keadaan di luar melalui jendela. Sudah sering dan Aira paham akan itu.
“Kamu enggak mau ikut main uno sama buhannya kah, Ken ?”
“Enggak, Ra. Lagi males.”
Sorot mata Kenzi menggambar seolah semua sedang baik-baik saja. Tapi siapa yang tahu, di balik sepasang mata cokelat yang teduh itu, tersimpan berjuta lara yang siap mencuat ke permukaan.
“Ken,” ucap Aira pelan.
Yang disebut namanya hanya bergumam. Tangan dan matanya disibukkan oleh beberapa soal Matematika Vektor yang seharusnya menjadi materi pelajarannya hari ini.
Keheningan diam-diam tercipta, merambati keduanya meski suasana kelas sedang riuh. Beberapa siswa sibuk dengan PC-tablet mereka. Segerombolan anak lainnya sedang asyik bermain kartu uno di bagian belakang ruang kelas.
Aira mengeembuskan napas pelan. Ada yang ingin ditanyakannya pada Kenzi. Sedikit ragu ia melihatnya. Sahabatnya itu selalu menyesuaikan diri berdasarkan moodnya. Salah-salah, Kenzi bisa saja menerkam dan memakannya bulat-bulat.
“Ken, kenapa kamu selalu diem kalo Lussy udah nyeritain soal Yohan?” tanya Aira pada akhirnya.
Kenzi menghentikan pergerakan pensilnya. Ia menoleh dan menatap sahabatnya dengan mata yang teduh. Sempat membuat Aira merasa bersalah menanyakan hal tersebut.
“Enggak apa-apa, Ra.”
“Jujur, Ken! Kamu cemburu kan?”
“Ra—”
“Seharusnya Lussy bisa lebih ngertiin perasaan kamu. Dia sahabatmu juga kan.”
“Enggak apa-apa kok. Aku bisa ngerti, kan Lussy teman sebangku Yohan.” Dalam hati semua itu bohong. Mulut dan hati Kenzi sangat bertolak belakang dalam menjawab. Mulutnya mungkin bisa berkicau sekena-nya tapi, bagaimana hati bisa menyerukan untuk menyangkal. Kenzi mengambil pensilnya dan kembali mengerjakan beberapa soal Matematika Vektor. Meski kini, otaknya sudah tidak bisa diajak kompromi karena terpancing hal yang dibicarakan oleh Aira.
“Sudah berapa lama sih aku kenal kamu, Ken? Aku enggak bisa kamu bohongin.”
Kenzi memilih diam. Tadi pagi sebelum bel sekolah berbunyai, ketiga sahabat itu; Kenzi, Aira dan Lussy seperti biasa berkumpul di depan kelas XII IPA-1. Sekedar bercerita dan membagi kebahagiaan pagi bersama. Kenzi yang penuh tawa tiba-tiba terdiam kaku setelah Lussy memulai ceritanya. Gadis itu bercerita jika ia sempat marah pada Yohan. Hanya karena hal sepele, tidak tahu siapa yang salah tapi Yohan terus meminta maaf pada Lussy yang waktu itu ngambek.
Sebenarnya tidak hanya cemburu akan kedekatan Lussy dengan Yohan. Tapi, juga pada orang-orang yang bisa tertawa sampai berbagi cerita dengan Yohan. Ya, Kenzi merindukan kedekatannya dengan pria itu. Seperti dulu. Tidak untuk sekarang, semua sudah berubah.
“Aku kan udah pernah bilang sama kamu, Ra. Aku mau ngelupain Yohan, makanya aku sama sekali enggak nanggepi pas Lussy cerita soal Yohan.”
“Tapi sampai sekarang kamu enggak bisa lupain dia kan?” tembak Aira. Napas Kenzi tercekat. Langitnya seperti baru saja runtuh. Tidak bisa menjawab atau sekedar menyela. Ia baru saja di hadapkan pada dua pilihan. Memilih berterus terang bahwa dia memang belum bisa melupakan perasaannya terhadap Yohan dan akan membuat hatinya semakin kesakitan, atau harus membohongi dirinya sendiri demi orang yang dicintainya itu.
Ah! Bukannya dari dulu ia terus membohongi dirinya sendiri. Setiap harinya ia selalu terlihat bahagia dengan tawa dan senyumnya. Tapi, bagaimana dirinya yang sebenarnya?
Ia rapuh. Bahkan lebih rapuh dari kayu yang usianya sudah ratusan tahun. Ziya bisa saja menangis kapan pun, tapi ia berusaha menahannya. Kemarin malam, ia berhasil dibuat menangis karena kedekatan Yohan dengan seorang adik kelas mereka. Padahal, sudah beberapa bulan lalu ia meronta-ronta pada sahabat-sahabatnya akan melupakan perasaannya terhadap Yohan. Ironis.
“Ken, ngelupain cinta pertama itu enggak semudah kamu ngebalikin telapak tangan. Soalnya aku juga ngalamin itu. Please, jangan sakitin dirimu kayak gini terus-terusan.”
“Enggak. Aku baik-baik saja,” selanya.
“Tatap aku, Ken!” Aira menarik lengan Kenzi, agar mata mereka saling bertemu. “Sekarang, buka lebar-lebar mata dan telingamu. Apa yang kamu katakan harus sesuai sama hatimu. Kalau kamu bilang, kamu bakal lupain perasaan itu. Lupakan!”
Lagi, Kenzi berhasil di sudutkan oleh perkataan Aira. Keduanya sudah saling mengenal sejak duduk di bangku SMP. Kecil kemungkinan Aira tidak mengetahui soal Kenzi.
“Iya.” Kenzi tertunduk lemah.
“Kuharap, kamu mau jujur sama Lussy soal ini.”
∞
Angin sungai Mahakam berusaha menawar keheningan
yang pelan-pelan tercipta. Sorot mata Kenzi masih tegas meski diterpa warna
menua di kaki langit bagian barat. Ia mengembuskan napas pelan. Duduk di tepian
sungai, menikmati kebanggaan kota kelahirannya ini memang pilihan terbaik. Luka
yang dimilikinya seperti hanyut terbawa arus sungai Mahakam menuju lautan
lepas, tapi tetap saja meninggalkan bekas.
“Ken,” panggil Lussy yang duduk di sampingnya. Ia
menoleh dengan tatapannya yang begitu teduh.
Jika tidak karena paksaan Aira tadi siang,
mungkin Kenzi lebih memilih mengeluarkan isi hatinya dalam bentuk tulisan.
Bertemu Lussy pasti akan membuat dirinya semakin berdosa.
“Kamu marah ya, setiap kali aku cerita soal
Yohan?”
Kenzi menggeleng pelan sambil tersenyum tenang.
Meyakinkan dia selalu baik-baik saja, setiap kali mendengarkan cerita Lussy
mengenai Yohan. Meski ia tahu, sikapnya ini akan membuat dosanya bertambah
karena terus-terusan membohongi diri sendiri.
“Aku sahabatmu, Ken. Aku minta maaf. Kamu kan
juga tahu, kalo aku udah punya pacar. Dan Yohan itu cuma teman sebangkuku.”
Hati Kenzi berdesir. Tidak perlu diceritakan,
Lussy pun sudah tahu bagaimana posisi sebagai Kenziya Putri yang sangat
mencintai Yohan Dwi Kusuma. Sejak tiga tahun lalu, pertemanan Kenzi dan Yohan
seperti sudah berakhir. Kedua-duanya saling menghindar dan bersikap dingin satu
sama lain. Perbedaan kelas sejak dua tahun lalu semakin menuntut mereka agar
menjadi orang yang tak pernah saling kenal.
Tiba-tiba, perkataan Aira tadi pagi
terngiang-ngiang di otak Kenzi, seperti lagu yang sengaja disetting. Apa
yang kamu katakan harus sesuai sama hatimu.
Semua bermula karena perasaan Kenzi pada Yohan.
Waktu itu, Kenzi yang baru pertama kali merasakan jatuh cinta tak bisa berhenti
menceritakan perasaannya kepada teman-temannya. Hingga akhirnya, cerita
tersebut sampai di telinga Yohan dan ditanggapi tak acuh.
Karena perasaan yang menggebu, gadis itu nekat
menyatakan perasaannya duluan. Dan ternyata, jawaban yang diberikan Yohan
sangat jauh dari apa yang diharapkan. Dari situlah, pertemanan keduanya mulai
merenggang. Kenzi yang merasa seperti dipermalukan memilih menjauh, dan Yohan
menghindar karena banyak teman-teman yang mengejeknya.
“Ken,”
“…”
“Ya.” Gadis yang sempat tercenung itu lantas mengusap kasar air mata yang menetes di pipinya. Lussy berhasil menariknya lagi dari perjalanan yang dinamakan masa lalu. Perasaan masa lalu yang masih bertahan hingga sekarang.
“Jangan bohongin dirimu lagi.” Lussy merangkul sahabatnya, dan menggenggam tangan Kenzi yang terasa seperti es. “Aku enggak mau langit kehilangan kilaunya. Dan, aku enggak mau sahabat kayak kamu kehilangan kejujuran pada dirinya sendiri.”
Kenzi mengembuskan napas pelan. Sudah selayaknya ia mengakui ini. “Mungkin cinta itu datang untuk pergi.” Suaranya terdengar lirih tapi masih mampu ditangkap jelas oleh Lussy.
“Aku yakin kamu pasti bisa dapetin yang lebih baik dari dia. Hanya saja, tidak untuk saat ini. Tuhan masih menyimpannya. Maafin aku ya, Ken.” Lussy menarik napas sejenak. “Kapan hujan akan berhenti? Jika Kenzi tak kunjung jujur pada dirinya sendiri. Aku tahu, kamu bisa.”
Kenzi mengangkat kepalanya, kemudian tersenyum simpul pada sahabatnya itu. Senja yang tergambar anggun di langit Samarinda mendekap Kenziya untuk meyakinkan dirinya. Yakin, bahwa rasa itu bisa dihapuskan. Tentang rasa pada cinta yang bertepuk sebelah tangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar