source. google |
Malam mengintip dari celah jendela. Jemari lentiknya mulai memainkan
sebuah teknologi canggih abad ini. Membuka sebuah situs jejaring sosial
yang tidak pernah terlewatkan di setiap harinya, sudah seperti menjadi
rutinitas untuk seorang murid sekolahan pada umumnya.
Ziya mengulum senyum bersamaan, setelah membaca status milik seseorang di akun jejaring sosial facebook.
Yohan Dwi Kusuma. Lalu, ia menghempaskan tubuh di atas ranjangnya,
menatap langit-langit kamarnya penuh bahagia. Tangan kirinya masih
menggenggam erat sebuah PC tablet yang digunakannya untuk online.
“Semangat!” Ziya berucap lirih, dengan diikuti senyum setelahnya.
Bayang-bayang seorang cowok dengan rambut belah pinggir, kulit sawo
matang, dan penampilannya yang sederhana, memenuhi otak Ziya saat itu
juga. Cowok yang manis, begitulah kesimpulannya.
****
Desau angin menguntit di setiap langkah kaki Ziya menuju lapangan.
Partikel-partikel awan di atas sana seperti bernyanyi, meyakinkan bahwa
ini adalah hari yang cerah. Ziya yang menggunakan potongan seragam
olahraga berwarna merah lantas duduk di salah satu kursi penonton,
berbaur bersama siswa lain yang juga akan menonton pertandingan final futsal putra.
“Mau nonton siapa, Zi?” tanya salah seorang teman Ziya yang duduk di sebelahnnya.
“IPA 2.” Ziya berbohong. “Kamu sendiri mau nonton siapa?”
“IPA 3, mau lihat Yohan.”
Ziya mengalihkan pandangan setelahnya, ia menekan paksa salivanya.
Tidak bisa dipungkiri, cowok itu memang banyak menarik perhatian siswa
cewek di sini. Termasuk dirinya sendiri, dan cewek yang duduk di
sebelahnya. Ziya tahu itu, karena memang banyak temannya yang bercerita
mengenai kekaguman terhadap seorang Yohan.
Sepasang mata cokelat Ziya menyipit, sejurus dengan kedatangan
seorang cowok dari sisi lapangan. Setelan baju seragam sepak bola Chelsea,
serampak dengan timnya—XII IPA 3. Ziya kembali tersenyum, cowok yang
semalam hanya menjadi bayangnya kini berlari-lari kecil di tengah
lapangan.
Yohan, kamu pasti bisa!
Setelah melakukan pemanasan, peluitpun ditiup untuk memulai
pertandingan. Bukan bola yang menjadi perhatian Ziya melainkan
pemainnya—Yohan.
Lelah memperhatikan, pandangan Ziya turun pada ujung-ujung sepatunya.
Namun, tak lama lapangan menjadi riuh akan tepuk tangan juga teriakan
dan ia cepat-cepat mengalihkan pandangan. Benar saja, sebuah gol masuk
ke gawang lawan. Siapa lagi? Tentunya seorang Yohan Dwi Kusuma yang
telah berhasil memasukannya.
Teman sekawan Yohan memeluknya, baru beberapa menit berlalu cowok itu
sudah berhasil membobol gawang lawan. Ziya yang terus memperhatikan ke
tengah lapangan merasakan kedua pipi chubby-nya menghangat.
Melihat kaki lincah itu berlari di sana, sebuah senyum yang memamerkan
deretan gusinya seperti menggambar jelas betapa Yohan tengah bahagia
karena keberhasilannya.
Di tengah sana, Yohan membentuk tanda hati seraya tersenyum penuh sumringah ke arah penonton.
Tentu, itu bukan untukku. Ziya tersenyum
tipis, atau lebih tepatnya getir. Lalu ia juga membentuk sebuah tanda
hati dengan kedua tangannya, tapi ia mengurungkan niat untuk
memperlihatkan ke arah Yohan. Dia siapa? Pacar? Bukan. Mungkin itu Yohan
lakukan untuk mereka yang meneriaki namanya memberi semangat, sedangkan
Ziya? Cewek itu hanya diam tanpa berniat memberi semangat atau sekedar
meneriakkan nama ‘Yohan’. Tanda hati itu seperti tak layak diberikan
untuknya.
Kenyataannya, cintaku hanya dalam diam.
Ziya tersenyum getir, jika ia juga melakukan seperti apa yang Yohan
lakukan barusan, ia pasti menjadi perhatian siswa lainnya yang sedang
menonton. Dan dia harus tahu diri lebih jelasnya.
Kuharap, lain waktu kau tahu bahwa aku mencintaimu. Dan kuberharap, mencintaimu dalam diam tidak membuatku lelah.
Ziya tersenyum tipis, untuk menyemangati diri sendiri sepertinya. Ia
beranjak dari tempat duduknya. Membalikkan tubuh untuk meninggalkan
lapangan. Buktikan kau bisa seperti Yohan yang kutahu, ucap Ziya dalam hati.
“Semangat Yohan!!” pekik seseorang dari salah satu kursi penonton, dan tentunya itu segera menjadi perhatian Ziya.
Ziya masih berdiri mematung di kursi penonton, dan hanya mampu
tersenyum hambar. Bahkan, cewek dengan potongan rambut sebahu itu lebih
berani dibandingkan dirinya.
*Cerpen ini dimuat dalam Antologi Kata Kita Penerbit Harfeey
Tidak ada komentar:
Posting Komentar