Senin, 01 Juni 2015

Harus Kuakui

cr. google


Waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Kentara dari bau embun yang masih menguar. Langkah-langkah pendek setengah berlari berpantulan di lorong SMA Negeri 6 Samarinda. Ini sudah memasuki jam pertama pelajaran, tapi guru Matematika Kenzi belum juga masuk kelas.
Kenzi yang memiliki tinggi 156 sentimeter, hanya bisa berjinjit-jinjit di jendela—memastikan keadaan di luar. Sepi. Murid kelas XII lainnya sudah masuk ke kelas mereka masing-masing.

“Enggak ada bapaknya, kah?” tanya suara dari balik tubuh Kenzi.

“Belom,” jawab Kenzi lalu duduk di kursinya—bersebelahan dengan asal suara tadi.
Aira hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu. Tidak hanya untuk kali ini, Aira menangkap basah Kenzi mengintip-ngintip keadaan di luar melalui jendela. Sudah sering dan Aira paham akan itu.

“Kamu enggak mau ikut main uno sama buhannya kah, Ken ?”

“Enggak, Ra. Lagi males.”

Hello, June!

cr. google


Segurat senyum singkat tertangkap dari retina mataku, senyum manis yang setiap kali mampu membuat sosok sepertiku terbius. Kaki-kaki di bawah sana bergerak lincah, menggiring bola dan tampak susah payah mencari mana kawan dan lawan. Selang beberapa menit, setelah perebutan bola yang sengit, seseorang baru saja mencetak gol yang seakan-akan menjadi kepuasaan tersendiri untuk dirinya.

Yohan Prayoga, nama pria itu. Dia dari kelas XI IPA 2. Dia memiliki senyum yang cukup berarti bagiku. Aku suka melihatnya, karena saat ia tersenyum matanya akan ikut tersenyum. Eyes smile.
Tangan-tanganku bersembunyi di balik saku blazer yang melapisi seragam sekolah. Anak rambutku dipermainkan oleh angina yang bertiup di siang hari. Ini Juni, dan aku merindukan saat-saat ini. Tahun ajaran baru. Saat aku mengenal apa itu cinta dari pria seperti dirinya. Dari dirinya lah aku mulai mengawali sebuah rasa yang biasanya dialami gadis remaja; cinta pertama.



Memandangnya dari jauh seperti ini, layaknya menatap bintang di setiap malam yang tidak tahu bagaimana cara untuk menggapainya.