cr. google |
Waktu sudah menunjukkan pukul 8 pagi. Kentara dari bau embun yang masih menguar. Langkah-langkah pendek setengah berlari berpantulan di lorong SMA Negeri 6 Samarinda. Ini sudah memasuki jam pertama pelajaran, tapi guru Matematika Kenzi belum juga masuk kelas.
Kenzi yang memiliki tinggi 156 sentimeter, hanya bisa berjinjit-jinjit di jendela—memastikan keadaan di luar. Sepi. Murid kelas XII lainnya sudah masuk ke kelas mereka masing-masing.
“Enggak ada bapaknya, kah?” tanya suara dari balik tubuh Kenzi.
“Belom,” jawab Kenzi lalu duduk di kursinya—bersebelahan dengan asal suara tadi.
Aira hanya tersenyum melihat tingkah sahabatnya itu. Tidak hanya untuk kali ini, Aira menangkap basah Kenzi mengintip-ngintip keadaan di luar melalui jendela. Sudah sering dan Aira paham akan itu.
“Kamu enggak mau ikut main uno sama buhannya kah, Ken ?”
“Enggak, Ra. Lagi males.”