Senin, 21 April 2014

Matahari Belum Tenggelam

source. google

Dunia selalu bercerita. Ada yang namanya pagi; ketika matahari mulai menabirkan surya dari ufuk timur. Dan ada juga yang namanya senja; ketika matahari menggiring warna tuanya kembali dalam dekapan. Helaan napasku masih sama. Bibir yang terkulum menampakkan senyum yang tak berubah. Cerita itu pun tetap bergerak di atas alur yang sama. Prolog, klimaks, akan tetapi akhir ceritanya tak pernah kutemukan.

Udara bergerak yang bertiup di sekitar sama sekali tidak berani menggangguku, yang sedang berusaha untuk tidak menjangkaumu melalui iris mata. Kurasa terlalu sulit melakukannya. Rahang tegas itu, eyes smile yang kau miliki, kulit sawo matang, badan ideal, pun potongan rambut belah pinggir. Sama sekali tidak pernah terpikir, jika bayanganmu hanya menjadi semu di sini. Di dalam hatiku. Tak pernah kurengkuh, tak pernah kugapai, dan tak pernah kuamati begitu dekat. Bak menggenggam angin untuk sekedar memilikimu selama ini.

Seandainya. Rasa ini tak pernah ada. Sedikit banyak hal yang pasti tidak akan terjadi di masa ini. Kekaguman itu tak akan pernah tumbuh. Luka itu pun tidak akan pernah hadir. Juga, mungkin keegoisan itu tak akan pernah menggerogoti sebuah tali silaturahmi. Ketika semua hanya tersisa dalam berandai-andai. Memimpikan tersenyum bersama dalam ikatan pertemanan pun percuma. Maaf, aku yang menghancurkannya.